Fajar dan Wina menghentikan langkah menatap tanjakan curam berbatu di hadapan mereka. Di atas sana, di ujung tanjakan, Ayu dan Iman sudah menunggu sambil melambai-lambai. Dari sejak mereka naik, sepertinya ini tanjakan yang paling tinggi dan panjang. Fajar mulai memperkirakan akan seberapa pegal kakinya begitu tiba di atas. Dia menoleh pada Wina, mengangguk memberi semangat. Meyakinkan bahwa mereka akan bisa melewatinya seperti yang lain. Mereka mulai melangkah lagi. Naik menapakkan kaki pada batu-batu yang terhampar di jalan miring. Jika tidak pakai alas kaki, bisa dibayangkan bagaimana sakitnya saat batu jalanan menusuk kulit. Keduanya jalan agak ke tengah karena sisi sebelah kiri mereka jurang yang dalam. Meski sambil terengah-engah, akhirnya mereka sampai di atas. Keduanya memijit lutut dengan dada yang kembang-kempis. Iman dan Ayu menertawakan mereka. Lalu mengajak mampir ke warung yang untungnya ada di ujung tanjakan.
Empat anak itu duduk di balai bambu di dalam warung. Fajar dan Wina langsung pesan es teh manis. Sementara Iman sedang menikmati kopi hitam yang sudah lebih dulu dia pesan. Di depan Ayu, kopi susu sudah terminum separuh. Tak lama si ibu penjaga warung mengantar dua gelas es teh manis. Tanpa buang waktu Fajar dan Wina langsung menyedotnya.
Fajar merasa heran dengan minuman yang dipesan Iman dan Ayu. "Kalian capek atau ngantuk sih? Kok bisa kompak pesen kopi?"
"Capek plus ngantuk," jawab Ayu. "Gara-gara dia nih!" menunjuk Iman. "Semalam ngajak free talk-an sampai jam tiga."
Fajar geleng kepala. "Cari perkara ...."
"Kalian ini, udah tahu hari ini mau pergi, kenapa free talk-an? Ngantuk kan jadinya," kata Wina. Free Talk adalah program salah satu provider pulsa yang memberikan telepon gratis dari tengah malam sampai jam lima subuh. Banyak anak muda kurang kerjaan yang mengambil benefit ini.
"Iya sori ..." ucap Iman. "Nanti malam lagi yuk?""Gak!" jawab Ayu tegas.
"Ngapain sih teleponan lama-lama begitu? Emang kuping gak panas? Lagian pagi-pagi buta mau ngobrolin apa?" tanya Fajar.
"Kalo orang lagi jatuh cinta mah, banyak yang di obrolin," jawab Iman. "Contoh: bagaimana caranya membina rumah tangga yang baik dan benar?"
"Gimana tuh?"
"Ya ... Gak tahu. Kan itu aku nanya. Semalam aku tanya Ayu juga gak bisa jawab."
"Emang yang mau berumah tangga siapa?" tanya Ayu.
"Kita, kan?!" Iman dengan percaya diri.
"Idih."
"Udah aminkan aja, Yu ..." kata Wina. "KITA semua kan memang mau berumah tangga suatu hari nanti. Tapi dengan pria atau wanita yang mana, itu hak prerogatif Tuhan."
"Oh iya ya. Amiin ..." Ayu mengangkat dua tangannya.
"Kalo nanti malam Iman telepon lagi, matiin aja, Yu," suruh Fajar.
"HP-nya?"
"Orangnya."
"Buset. Tega kamu, Jar!" rengek Iman.
Setelah semua isi gelas habis, empat orang itu kembali melanjutkan perjalanan. Meski sesekali menguap, Iman dan Ayu masih terlihat antusias. Apalagi jarak air terjun sudah semakin dekat. Mereka jalan sambil bercanda untuk mengusir kantuk. Fajar dan Wina melangkah santai di belakang. Mengiringi dua manusia yang tampak sedang kasmaran. Fajar saat ini tersenyum melihat Ayu yang dengan jahil menjambret topi Iman. Fajar tahu kepercayaan diri sepupunya itu selalu menurun jika topi lepas dari kepalanya. Iman mengejar Ayu yang dengan gemas berlari sambil memakai topinya.
Mereka akhirnya tiba di depan pintu loket. Setelah masing-masing membeli tiket, mereka kembali melangkah. Meniti tangga naik turun yang terbuat dari susunan batu. Dari loket tiket, mereka harus jalan sejauh kurang lebih dua ratus lima puluh meter sebelum sampai ke air terjun. Para pedagang aksesoris dan pakaian tak pernah berhenti menawari mereka. Susana cukup ramai saat itu. Warung-warung penuh oleh mereka yang butuh semangkuk mie instan, segelas kopi, atau makanan dan minuman yang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
General FictionKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.