Mata dunia di atas cakrawala terus hilir mudik tiada henti. Dia bergerak teratur dari timur ke barat. Hingga kelak pemiliknya, Tuhan yang maha kuasa, memintanya berbalik arah. Menemani manusia dengan segala kesibukannya di muka bumi. Hari demi hari. Dari fajar ke petang. Dari kuning yang menghangatkan, hingga jingga yang menenangkan. Bergantian dengan hitamnya malam yang berhias gemintang, dan bulan yang selalu berubah bentuk dari malam ke malam. Dari sabit sampai bulat sempurna, sampai sabit lagi. Menemani para anak-anak Adam terlelap hingga fajar kembali datang mengetuk pintu hari.
Dan pagi ini, di depan cermin di dalam kamarnya, Vivi tengah menatap bayangan dirinya sendiri yang tampak begitu anggun dengan hijab dan kebaya warna pastel. Dia tersenyum bersama bayangannya. Hari ini spesial untuknya, dan untuk keluarganya. Setelah menempuh pendidikan empat tahun di universitas, saatnya dia diwisuda.
Ibu Dewi mendorong pintu kamar anaknya yang sedikit terbuka. Dia juga sudah berhijab sekarang. "Kamu sudah siap, Vi?" tanyanya yang berdiri di bingkai pintu. Dia tidak kalah anggun dari anaknya. Banyak yang mengira mereka kakak-adik.
Vivi menoleh, membuang muka dari cermin. "Sudah, Bu."
"Ayo berangkat. Ayah sudah menunggu di luar."
Vivi mengangguk.
Ibu Dewi pergi lagi. Menemui Pak Wira yang tegap dengan setelan jas hitam, yang duduk di kursi kayu di teras rumahnya. Tak berapa lama, Vivi keluar. Dan mereka pun berangkat dengan sedan hitam klasik.
***
Mesin-mesin pabrik mendesis mati. Para pekerja shift tiga meletakan pekerjaan mereka untuk disambung oleh shift satu, satu jam mendatang. Mereka menepuk-nepuk baju biru seragam untuk menghilangkan debu kayu yang menempel. Beberapa orang menggunakan angin dari selang kompresor untuk membersihkan badan. Pakaian penuh debu kayu hal biasa di sana. Beberapa mesin ampelas yang berdiri itu membaginya dengan cuma-cuma ketika digunakan.
Minggu ini Fajar sedang kebagian jatah menghuni shift tiga. Begitulah jadwal kerja di pabriknya. Seminggu shift satu, seminggu shift dua, seminggu shift tiga. Begitu seterusnya. Dia jalan dengan tergesa menuju tempat parkir. Mengacuhkan beberapa teman kerja yang mengajaknya pulang agak santai. Hari ini, ada undangan dari sebuah acara penting yang ingin dia hadiri. Dua hari yang lalu dia sebenarnya sudah minta izin untuk tidak masuk kerja hari ini. Tapi supervisor sialan itu melarangnya. Dengan dalih, target ratusan set meja kursi pesanan Hongkong harus selesai sebelum kamis. Artinya besok. Kehilangan satu karyawan, apalagi dia senior, akan memperlambat semuanya. Fajar serasa ingin melempar kepala atasannya dengan balok kayu. Tapi dia tetap menurut.
Sambil jalan dia mulai menyusun rencana. Lupakan dulu tidur meski dia mengantuk bukan kepalang. Dari pabrik, dia akan pulang, mandi, pakai baju terbaik yang dia punya, lalu meluncur cepat ke tempat acara. Semoga masih keburu. Dia mengangguk mantap menyemangati dirinya sendiri. Mempercepat langkahnya, mengubahnya menjadi setengah berlari. Namun, di ujung gedung, di sebuah persimpangan lorong, dia menabrak seseorang. Fajar yang terperanjat refleks menahan lengan orang itu sebelum terjatuh ke lantai beton. Membuatnya kembali berdiri normal.
"Maaf, maaf," ucap Fajar cepat.
Orang itu memegangi bahunya, kemudian lengannya yang ditarik Fajar. Dia seorang perempuan berkerudung hitam. Menatap Fajar dengan datar. Tiga orang perempuan lain yang berdiri di belakangnya memperhatikan.
"Kamu gak kenapa-kenapa?" tanya Fajar.
Perempuan berkerudung hitam menggeleng pelan.
"Maaf, aku yang kurang hati-hati. Lagi buru-buru soalnya. Kalau begitu, aku duluan ya ... Marwah." Fajar mengangguk permisi. Dia melanjutkan larinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
Tiểu Thuyết ChungKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.