Bab 2 : Bunga Portulaca

13 4 0
                                    

Fajar dan Iman melangkah bersebelahan di sisi jalan perkampungan. Keduanya tampak lelah dan tidak banyak mengobrol. Hanya sering menatap pada jalan aspal rusak penuh lubang di depannya, atau persawahan kering tak berpadi di samping kanannya. Di genggaman tangan Iman, terdapat plastik hitam berisi surat undangan yang tengah mereka sebar. Pekerjaan itu telah mereka lalukan dari pagi. Wajar kalau saat ini keduanya terlihat begitu lesu. Kemeja yang dipakai Fajar bahkan sudah lecek di bagian lengan karena terlalu sering dipakai mengelap dahi yang berkeringat. Iman melepas topi, menggunakannya untuk mengipasi lehernya yang basah.

Pukul empat belas lebih sedikit tatkala mereka tiba di satu pos ronda dan memutuskan beristirahat di sana. Sisa-sisa kehidupan malam pos ronda masih terlihat. Abu bekas api unggun, puntung-puntung rokok, kulit-kulit kacang, serta gelas-gelas kopi yang masih berampas hitam bergulingan di pojok. Fajar duduk lalu merebahkan diri. Menggunakan satu tangannya sebagai bantal. Menatap asbes belah yang menjadi atap pos ronda. Iman duduk di sebelahnya. Bersandar ke dinding. Menaruh plastik hitam yang sedari tadi dia bawa, kemudian memijit betisnya yang pegal. Dia yang memilih ide menyebar surat undangan dengan jalan kaki. Membuang saran Fajar agar dengan motor. Dia berkilah: berhubung masih suasana lebaran, bukan ide buruk jika mereka jalan santai sambil silaturahmi pada orang-orang kampung, apalagi yang mempunyai anak gadis yang cantik. Tapi setelah nyaris tujuh jam jalan kaki, itu memang ide buruk. Kaki mereka pegal. Lutut terasa mau copot. Iman melirik sekilas pada Fajar yang sedang merem-merem ayam. Semoga ide buruknya tidak diungkit.

"Man."

Suara Fajar membuat Iman menoleh.

"Lama menganggur, jenuh gak sih?" tanya Fajar. Tatapannya tetap pada asbes belah.

Iman mendelik. "Pertanyaan bodoh macam apa itu?!"

Fajar menghela napas. "Setelah dua tahun kerja di pabrik, dan sekarang harus kembali menganggur, sepertinya aku belum bisa membiasakan diri. Jenuh. Sedangkan kamu, terlihat baik-baik saja dengan status pengangguran tingkat dewamu itu."

Iman tersenyum sebal. "Kamu tahu kan adikku yang dua itu masih sekolah? Kebutuhan mereka banyak. Dan pekerjaan bapakku cuma kuli serabutan. Jadi tidak mungkin kami tidak susah. Tapi bagiku, terlalu vulgar kalau harus mengumbar kesusahan di depan muka banyak orang. Kebanyakan dari mereka terlihat simpati di depan, tapi mencibir di belakang."

"Kenapa bisa ngomong begitu?"

"Karena aku pun kayak gitu."

"Bodoh. Jangan menyamakan kepalamu dengan kepala orang lain."

"Iya sih. Hehe." Iman garuk kepala.

"Ada orang yang menawariku kerja lagi di pabrik, tapi uang pelicinnya bikin geleng kepala."

"Nyogok?"

"Iya."

"Di kabupaten kita pabrik memang banyak, tapi calo juga berjibun. Mereka meminta uang sogokan sampai berjuta-juta pada calon pekerja yang kebanyakan orang susah. Dan tragisnya, banyak dari mereka yang sudah rela jual ini itu buat nyogok, setelah uang masuk, si calo raib entah ke mana. Pekerjaan gak dapat, duit pun hilang. Kasus seperti itu, di kabupaten ini, bukan cerita baru. Jadi kalau ada yang menawarimu kerja, tapi minta uang sogokan, anggap saja kentut," papar Iman.

"Iya. Aku juga enggak terlalu serius memikirkannya. Aku kerja buat dapat duit, bukan buang duit."

Iman mengacungkan jempolnya. "Bagus. Pemahaman seperti itu yang membuat aku menganggur sampai sekarang." Dia tertawa.

Fajar duduk. Capek di punggungnya sedikit berkurang setelah rebahan sebentar. "Hanya saja, kalau sampai berbulan-bulan gak ada pemasukan, kan pusing juga."

Portulaca Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang