Air panas mengucur pada gelas kaca yang berisi serbuk kopi hitam. Sendok berputar mengaduk. Asap beraroma kesegaran mengepul membangkitkan selera. Fajar membawa kopinya keluar dari dapur, masuk ke kamarnya, kemudian ditaruhnya gelas kopi di atas lantai keramik putih. Dia duduk menyandarkan punggung ke sisi tempat tidur. Menikmati kopi paginya berteman sebuah lagu yang terputar dari DVD Player.
Ketika tengah asyik bersenandung, terdengar bunyi pesan masuk dari HP-nya. Dia ambil benda itu dari atas bantal. Membuka pesan. Di sana tertulis nama Vi2 dan isi pesannya.
[ sLam4T p49i A f4jar... Cm mAu ny4pa Aj4h.. jGn d blZ yA aQ d4H mo pEr9i sKol4h.. Hehe. bYe A f4jar.. ]
Fajar geleng kepala sambil sedikit tersenyum. Sudah mau berangkat sekolah Vivi masih sempat-sempatnya kirim SMS. Fajar melempar HP ke kasur. Lalu kembali menyeruput kopi hitamnya hingga tinggal tersisa ampas. Dia bangun dari duduknya. Gelas kopi turut dia angkat. Menambah volume suara musik kemudian keluar kamar. Ada pekerjaan setelah segelas kopi habis.
Dulu, kaum hawa mendominasi rumahnya. Fajar dan bapaknya hanya kaum minoritas. Hingga satu per satu kakak-kakaknya menikah dan dibawa pergi suaminya, serta ibu yang dipanggil Sang Maha Pemilik Hidup, menjadikan Fajar dan Wa Salim harus beradaptasi tanpa seorang pun perempuan di rumahnya. Di awal terasa sangat berat. Berikutnya berusaha biasa. Dan sekarang setelah lima tahun berlalu, mereka sudah expert. Bapak dan anak itu membagi tugas untuk menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Dan sekarang, adalah jadwal Fajar untuk mencuci pakaian.
Dia menjinjing satu ember berisi pakaian kotor ke sumur yang berada di belakang rumah. Karena mereka hanya tinggal berdua, cuciannya pun tidak terlalu banyak. Fajar meletakan ember di dekat bak hitam plastik. Saat kebanyakan manusia di kampungnya sudah menggunakan pompa air, Fajar dan bapaknya masih menggunakan sumur timba warisan leluhur.
Fajar mengerek katrol, menimba air untuk memenuhi bak. Setelah itu dia mulai mencuci baju. Kebanyakan miliknya, dan satu setel milik bapaknya. Dia mengucek, menyikat, membilas, menjemur, selesai. Lanjut ke pekerjaan berikutnya.
Selepas subuh tadi bapaknya sudah memasak nasi. Dan sekarang giliran dia untuk menyiapkan lauknya. Di panci kecil sudah ada kangkung hasil dari kebun sendiri dan tampak sudah disiangi. Fajar menyiapkan bumbu. Bawang, cabai, dan garam adalah bumbu wajib. Sempurna bila ditambah micin. Kompor tidak berapi karena tabung gas yang tidak berisi. Karena sudah biasa, itu bukan masalah. Kayu bakar melimpah di belakang rumah. Fajar membawa dua genggam ranting kering lalu mendorongnya pada tungku tanah liat. Menyalakan api, menaruh kuali di atas tungku, menuang minyak, dan mulai memasak.
Dia mewadahi tumis kangkung yang sudah jadi pada mangkok, menaruhnya di meja di sebelah tempat nasi. Api di tungku masih menyala. Fajar kembali ke belakang rumah. Memeriksa kandang ayam, mengambil dua butir telur yang masih hangat. Tak apa mendapat dua kali patukan dari yang punya, yang penting ada tambahan protein untuk makan hari ini. Selain beras, untuk makan sehari-hari sebenarnya tinggal ambil di kebun karena Wa Salim terbilang rajin bercocok tanam. Mereka harus hemat. Apalagi Fajar menganggur sekarang. Memang masih ada tabungan dari hasil kerja di pabrik kemarin. Tapi jika tidak diatur dengan baik, umur tabungannya pun bisa jadi akan singkat. Fajar menggoreng telur. Setelah keperluan makan beres. Dia kembali ke sumur untuk mandi.
Wa Salim sedang menyapu halaman musala tua yang berada di seberang jalan rumahnya. Namanya Musala Al-Ikhlas. Sudah ada di sana bahkan sebelum Fajar lahir. Kondisinya saat ini terbilang cukup mengenaskan. Tembok sudah banyak yang retak. Plafon yang terbuat dari bilik bambu pada bolong karena memang sudah rapuh, dan sering dipakai ribut kucing. Genteng sudah tak terhitung yang belah. Kayu-kayu dan bambu bagian atap sudah sangat layak untuk diganti. Masyarakat sekitar sepertinya abai dengan keadaan musala. Jumlah jamaah saat salat pun tidak pernah banyak. Entah mereka pada salat di mana. Mungkin di masjid dekat pertigaan yang lebih besar dan megah. Meski begitu, Wa Salim masih mengajar mengaji anak-anak selepas magrib. Jumlah muridnya banyak. Ada empat orang. Ya ... Setidaknya itu sudah lebih dari satu. Semuanya anak dari tetangga sekitar musala. Saat Wa Salim berhalangan mengajar, Fajar yang biasa menggantikan. Kalau hanya mengajar dasar-dasar membaca Alquran dia bisa. Kalau disuruh mengajar kitab kuning, baru dia menyerah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
Fiksi UmumKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.