Pintu gerbang kayu itu bergeser terbuka. Seorang gadis berhijab cokelat melintasinya. Dia mengenakan baju almamater kampus yang berwarna merah hati, berpadu dengan celana panjang hitam yang tidak ketat di kakinya. Di pundak kirinya tergantung tas berisi buku dan laptop. Dia berjalan anggun mendekati seorang pria yang duduk di Supra tua lalu menyapanya dengan lembut. Si pria menoleh. Tidak pernah bosan dia melihat senyum gadisnya. Matahari baru menyapu bumi dengan sinar pagi yang hangat ketika mereka pergi meninggalkan pintu gerbang kayu.
Waktu telah kembali melompat maju. Saat ini, saat dia tengah membonceng di Supra tua itu, Vivi sudah menjadi wanita dewasa seutuhnya. Usianya dua puluh satu tahun dan sekarang sudah semester tujuh di kuliahnya. Angka tujuh juga tersemat di tahun hubungannya dengan Fajar, yang saat ini sedang mengemudikan motor di depannya. Kadang mereka tidak menyangka, namun bersyukur hubungan mereka bisa sampai di angka tujuh.
Usia Fajar saat ini tiga puluh tahun. Fisiknya semakin tegap. Serta ada tambahan bulu-bulu tipis di sekitar dagu yang membuatnya tampak lebih maskulin. Dan rambut yang saat ini terlindungi helm itu lebih pendek dan selalu disisir rapi. Tidak sekenanya seperti dulu. Dia sudah karyawan tetap di pabriknya yang kecil itu. Saat ini dia hendak berangkat kerja dengan terlebih dahulu mengantar gadisnya kuliah.
Mereka berkendara di jalan yang terimpit hijaunya petakan sawah yang belum berbuah bulir padi. Melewati gapura patung monyet yang saat ini bahkan tidak ada satu pun patung monyet di atasnya. Dan gapura patung naga di dalam sana hanya tersisa satu. Pasangannya sudah roboh ke tanah. Serupa dengan bekas rumah Eyang Endin yang nyaris rata dengan tanah.
Di atas motor, Vivi terus berbicara. Menceritakan apa pun yang ada di kesehariannya. Dan Fajar, sambil fokus pada jalan di depannya, hanya diam mendengarkan dengan suka. Sesekali menanggapi, memberi pendapat. Hubungan mereka memang lebih banyak mengobrol dibanding bersentuhan fisik. Saling berbagi kata manis, saling berbagi perhatian. Tidak mengumbar kemesraan seperti banyak pasangan yang lain. Sebagai manusia biasa, ada kalanya mereka ingin sedikit adanya sentuhan, sekedar berpegangan tangan seperti yang lain. Tapi mereka tahan dengan kuat. Mereka sudah berkomitmen. Biarlah sentuhan tertunda sementara sampai hari bahagia itu tiba. Dan mereka yakin kebahagiaan yang akan mereka dapat akan lebih berlipat-lipat.
Mereka tiba di kampus Vivi yang berada di Jalan Ronggo Waluyo. Fajar menghentikan motornya di pinggir jalan yang agak teduh beberapa meter dari gerbang kampus. Vivi turun. Melepas helm, memberikannya pada Fajar. Sebuah mobil merah melambat lalu berhenti di samping mereka. Kaca mobil turun perlahan. Seorang gadis berambut sebahu dan berkaca mata bulat menyapa ramah dengan mengucap selamat pagi pada keduanya. Vivi kenal baik dengan gadis itu. Yoan.
"Aku tunggu di dalam ya, Vi," ucap Yoan yang duduk di belakang setir.
Vivi hanya mengangguk dan tersenyum.
Yoan kembali menjalankan mobilnya lalu masuk melewati gerbang kampus. Dia dan Vivi memang satu kampus. Tapi beda fakultas. Vivi Pendidikan, dan Yoan Ekonomi. Sedangkan teman mereka yang satu lagi, Nita, memilih berkuliah di Bandung.
"Nanti pulangnya aku gak bisa jemput. Akhir-akhir ini pabrik sering meminta lembur sampai sore," ungkap Fajar. Dia tetap di atas motornya.
"Gak apa-apa. Nanti aku pulang sama Yoan," jawab Vivi.
"Kamu kenapa gak minta dibelikan motor atau mobil untuk kuliah kayak temanmu tadi? Aku rasa ayahmu lebih dari mampu."
"Ayah juga pernah menawari itu. Tapi aku menolaknya."
"Kenapa?"
"Kalau aku punya motor atau mobil sendiri, nanti Aa gak mau antar-jemput aku lagi. Cuma dengan itu kita jadi sering bertemu. Kenapa? Aa capek antar-jemput aku? Cobalah sedikit berkorban waktu buat calon istrimu."
Fajar tertawa kecil. "Lucu. Setelah tujuh tahun aku antar-jemput kamu, baru sekarang kamu tanya aku capek? Aku cuma berpikir, mobilitasmu sebagai mahasiswi akan lebih cepat kalau punya kendaraan sendiri. Tanpa harus selalu menungguku. Karena faktanya, aku memang gak bisa tiap hari antar-jemput kamu."
"Gak apa-apa. Kalau Aa lagi bisa, lakukan. Kalau gak bisa, gak perlu memaksakan. Aku akan mengerti kok. Gak apa-apa mobilitasku terbatas. Lagi pula, memangnya Aa mau aku banyak main? Enggak, kan?"
"Emang gak apa-apa terus diantar-jemput pakai motor jelek begini?" Fajar menepuk bodi motornya.
Vivi tertawa. "Setelah tujuh tahun Aa antar-jemput aku pakai motor ini, baru sekarang Aa tanya gak apa-apa? Aa lucu."
Keduanya tertawa.
"Udah. Aku mau jalan dulu. Takut kesiangan. Kamu juga harus masuk, kan?" tanya Fajar.
Vivi melirik jam tangannya. "Masih satu jam lagi. Paling nanti mau ketemu Yoan dulu."
"Ya udah. Masuk sana."
"Oke. Hati-hati ya, A. Besok jangan lupa jemput aku lagi."
Fajar hanya tersenyum tanpa menjawab.
"Dagh." Vivi mulai menggerakkan kakinya. Tapi di langkah kedua dia terhenti. Memutar tubuh dan balik lagi seolah ada yang terlupa.
"Kenapa?" tanya Fajar.
Vivi menatap lekat lelakinya. "Seperti portulaca yang aku beri, yang terus tumbuh mengakar dan mampu memperbanyak dirinya hari demi hari. Sama seperti rasa yang ada di dalam sini." Dia meletakkan jemarinya dengan lembut di dada Fajar. Mereka saling tatap. Vivi meneruskan, "Tolong jaga agar tetap menyala hangat seperti ini." Dengan pelan menarik lagi tangannya.
"Sudah kulakukan. Kamu?"
"Selalu."
Vivi menutup pertemuan mereka pagi ini dengan seulas senyum dan tatapan yang sejuk. Dia mulai berjalan mendekati gerbang. Dan Fajar mulai kembali menyalakan motornya.
Di parkiran kampus, Yoan baru saja keluar dari mobilnya saat seorang pria dengan motor vespa berhenti di depannya. Langkah Yoan tertahan. Si pria tersenyum. Yoan malas melihatnya. Pria itu menstandar motor, menggantung helmnya.
"Hai, Yoana ..." sapa si pria. Namanya Bima.
"Jangan sok asik!" jawab Yoan ketus. "Masih pagi. Tolong jangan merusak mood-ku!"
"Apaan sih orang cuma nyapa." Bima mendekat. Dia melihat Vivi yang berjalan mendekati gedung kampusnya. Tidak melihat Yoan yang masih di tempat parkir. "Yang suka antar-jemput Vivi siapa sih?"
"Kenapa emang? Mau tahu aja urusan orang!"
"Pengen tahu aja ...."
"Itu calon suaminya. Puas kamu?!"
"Yah. Sayang banget ya. Padahal-"
"Kalau kamu berani mengganggu Vivi, kamu akan berhadapan denganku!" Yoan mengepalkan tangan di depan muka Bima.
Bima tersenyum menantang dengan tatapan nakal. "Yakin kamu bisa menghadapiku?" Dia menangkap kepalan Yoan dengan tangannya yang lebih besar. Yoan berusaha menarik tangannya, tapi keras. Di usahanya yang ketiga tangannya baru terlepas. Menatap Bima dengan ketus. Sedangkan Bima, sepertinya suka melihat itu. Yoan melangkah cepat meninggalkannya, mendekati gedung kampus.
Bima masih di sana. Menatap Yoan yang menjauh.
"Yoana Salsabila, tentu bukan Vivi yang menjadi tujuanku. Tapi kamu."
Dia mencium tangannya yang barusan digunakan untuk menangkap tangan Yoan. Antara Bima dan Yoan, sepertinya akan mengukir kisahnya tersendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
Ficción GeneralKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.