Ruangan itu masih penuh oleh guru-guru yang telah membereskan tugasnya hari ini. Mereka berbincang riang satu sama lain. Hingga dari menit ke menit, ruangan yang tampak ramai itu menjadi semakin senyap seiring satu persatu penghuninya bergerak pulang. Hanya tersisa dua orang di sana. Satu orang duduk bersandar di kursinya di meja paling belakang, satu lagi, bersiap mengikuti langkah yang lain pergi dari ruang guru, pulang.
Tersisa Vivi seorang diri di sana. Membaca pesan yang dikirim Fajar bahwa pria itu akan tiba dalam lima belas menit lagi. Tak apa. Meski sendirian, Vivi sabar menunggu.
Fadil masuk sambil membawa beberapa buku di tentengan tangannya. Dia yang paling terakhir kembali dari kelas sementara pengajar yang lain menyudahi pembelajaran ketika bel pulang berbunyi. Fadil harus merapikan dulu laboratorium setelah 'diacak-acak' anak didiknya. Melihat Vivi yang masih di mejanya, dia tersenyum dan mendekat. Memperlihatkan mukanya yang seolah tak punya rencana apa pun terhadap si gadis. Buku di tangannya dia taruh sembarang di mejanya. Terhalang tiga meja dari meja Vivi.
"Kok belum pulang, Vi?" tanya Fadil. Duduk di kursi kosong sebelah meja Vivi. Milik guru Fisika yang pulang sebelum Fadil datang.
"Iya. Masih menunggu yang mau jemput," jawab Vivi. Menaruh HP di meja yang sedari tadi dia gunakan melihat sosial media.
"Fajar?" Fadil bertanya lagi.
Vivi mengangguk.
"Dia kerja di mana sih?"
"Dia karyawan pabrik."
"Oh." Fadil menyeringai merendahkan. Sekarang Fadil tahu, baginya yang PNS dan berwirausaha, Fajar tidaklah selevel. "Kapan kalian akan menikah?"
Vivi mengangkat bahu. "Entahlah."
"Kenapa? Fajar belum siap?"
Vivi menggeleng. "Bukan."
Fadil mengerutkan kening. Dalam benaknya, dia ingin mencocokkan analisanya kemarin tepat atau tidak. "Atau, keluargamu tidak suka dengan Fajar?"
Vivi membuang napas panjang. Mengangguk pelan. Dan itu cukup memberikan angin segar di hati Fadil. Pria itu ingin tertawa terbahak. Senang meski mendapat jawaban sekedar anggukan lemah.
"Tepatnya ayahku yang dulu melarangku berhubungan dengan A Fajar. Karena saat itu aku masih sekolah. Dan sekarang saat aku sudah lulus pun, ayah tidak pernah bertanya apa pun tentangnya. Mereka memang jarang bertemu. Ayah selalu sedang tidak ada saat A Fajar datang ke rumah. Dia selalu sibuk. Baru setelah aku lulus kuliah, yang aku lihat, ayah sering banyak di rumah. Mungkin dia sudah capek terus bekerja. Umurnya sudah kepala lima. Aku berharap semoga A Fajar bisa memenangkan hati ayahku," tutur Vivi. Dia sudah menganggap Fadil adalah temannya. Layak bagi seorang teman untuk mendapat curahan hati seperti itu. Yang Vivi tidak tahu, dia baru saja memberikan informasi yang teramat penting bagi seseorang yang ingin 'mencuri' seperti Fadil. Laki-laki itu sekali lagi terbahak-bahak dalam hatinya.
"Bagaimana kalau ayahmu, tiba-tiba menyuruhmu menikah dengan pria lain?" tanya Fadil. Serapat mungkin menyembunyikan tawa lepas dalam dada. Mukanya datar. Berusaha simpati dengan cerita Vivi.
"Ya tuhan ... Aku gak tahu harus berbuat apa kalau itu sampai terjadi."
"Kenapa?"
"Ayahku adalah orang yang tidak pernah mau dibantah."
Satu informasi penting lainnya Fadil dapat. Di benaknya sudah bermunculan bermacam rencana. Dia masih menujukan mukanya yang sok peduli. "Ya sudah, apa pun dan bagaimana pun, semoga kamu selalu dapat yang terbaik."
"Amin. Terima kasih." Vivi tersenyum.
Fadil bangkit. "Aku duluan ya."
"Oke."
KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
General FictionKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.