Bab 11 : Mahram

5 2 0
                                    

Fajar membelokkan Supra miliknya melewati pintu gerbang kayu nan kokoh. Melaju pelan di jalan di tengah taman yang sekali lagi, membuatnya terkagum. Waktu itu dia datang ke sini di saat matahari masih belum raib di bagian barat, dan cukup membuatnya betah. Dan kali ini, kala sang surya baru saja undur diri, taman ini masih begitu menarik perhatian matanya. Lampu-lampu dari tiang berlentera membagi pendar cahayanya pada jalan sepanjang lima puluh meter. Tak lupa menerangi bedeng bunga portulaca yang bunganya agak menguncup. Di bawah masing-masing pohon trembesi, lampu sorot memancar ke atas membuat bonsai raksasa masih terkesan gagah di kala malam. Lampu-lampu sorot juga menerangi tanaman-tanaman lain di taman tropis sepanjang benteng bagian timur, serta di sekitar kolam ikan koi. Di bagian yang lain, rentetan lampu melilit batang beberapa pohon glodokan tiang. Dari semua keindahan yang tersaji, satu yang terlintas di pikiran Fajar: berapa tagihan listrik yang harus dibayar untuk setiap bulan? Ah, menyebalkan sekali. Saat sedang menikmati taman milik orang lain pun dia masih memikirkan biaya. Untuk orang yang hartanya minimalis, itu selalu terlintas secara alamiah.

Fajar menghentikan motornya di belakang sedan tua yang akhir ini sering dijumpainya. Dia turun dari motor. Penampilannya masih dengan setelan biasa di keseharian. Kaos dan kemeja yang tidak dikancing itu tidak digantikan baju koko dan sarung meski dia hendak mengajar mengaji. Dia mengucap salam di undakan terakhir, tiga meter dari pintu rumah gaya belanda yang terbuka. Ibu Dewi keluar sambil menjawab salam. Melihat Fajar berdiri di sana, dia tampak kaget. Belakangan ada cerita yang kurang enak yang dia dengar antara pemuda itu dan suaminya. Dia tidak mau suaminya memarahi siapa pun walau di rumahnya sendiri. Dia mendekat. "Fajar? Ada perlu apa?" Ibu Dewi menahan suaranya agar tidak didengar orang di dalam rumah.

Fajar memberi senyum ramah. "Saya sudah ada janji sama Pak Wira, Bu."

Kening Ibu Dewi berkerut. "Sama suami saya? Kamu yakin?"

Fajar hanya menjawab dengan anggukan.

"Sebentar saya panggil dulu. Silakan duduk." Ibu Dewi mengarahkan tangan pada kursi bermeja bulat yang biasa digunakan Vivi menerima guru les. Dengan kurang yakin dia masuk rumah. Rasa takut suaminya marah-marah juga muncul di hatinya. Dia menemui Pak Wira yang tengah duduk di sofa sambil memainkan tombol-tombol di ponselnya.

"Ayah, ada Fajar di depan. Katanya sudah ada janji sama Ayah."

Pak Wira hanya menengok sesaat. Mukanya tetap datar. Tidak kaget, tidak marah. Ini di luar bayangan Ibu Dewi.

"Oh. Dia bukan ada perlu sama Ayah. Tapi sama Vivi." Pandangan Pak Wira tetap pada ponselnya. "Panggil anakmu, Bu."

Ibu Dewi makin heran. "Loh. Bukannya Ayah melarang Vivi ketemu sama Fajar?"

Pak Wira mendengus. Menaruh HP di sofa. Kepalanya agak terangkat menatap pintu kamar anaknya yang tertutup. "VI, VIVI! Ke sini!"

Tak lama, Vivi keluar kamar dengan balutan piama. Mendekat pada ibunya yang berdiri, dan ayahnya yang masih di sofa. "Apa, Yah?"

"Di luar ada Fajar. Kamu temui dia," suruh Pak Wira.

Mata Vivi seketika membesar. Dua rasa kaget dirasakannya sekaligus. Kaget karena Fajar datang ke rumahnya, kaget karena ayahnya mengizinkan menemuinya. "A Fajar? Ayah bolehkan aku ketemu dia?"

"Kenapa? Bukannya kalian diam-diam sering bertemu di sekolah? Jangan kira Ayah gak tahu. Temui dia. Tapi jangan anggap ayah mengizinkanmu pacaran. Selama sekolahmu belum selesai, itu tidak mungkin."

Vivi mengangguk senang. Dia segera pergi sebelum ayahnya berubah pikiran.

Pak Wira memandang muka istrinya yang bingung. "Fajar mau mengajari Vivi mengaji. Kamu sendiri tahu, Vivi sudah lama meninggalkan itu."

Portulaca Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang