Bab 14 : Terima Kasih

2 1 0
                                    

Mereka berhenti di salah satu SPBU. Memberi minum motornya sepenuh tangki. Iman kembali menolak uang pemberian Wina dan malah menyuruh gadis itu berhenti menujukan uangnya. Dia tidak butuh itu. Dia tegaskan, tugas Wina hanya duduk manis di belakang, berdoa semoga tak ada kendala, dan mempersiapkan kata-kata paling manis untuk keluarganya saat berjumpa nanti. Sisanya, biar menjadi bagian Iman.

Mereka melindas jalanan berkelok di daerah Cikalong Wetan. Mata Iman tersegarkan saat melintasi perkebunan teh yang menghampar luas. Dia takjub. Matanya terbiasa menjumpai petakan sawah di daerahnya. Ini pemandangan asing untuknya. Segar. Ditambah cuaca yang memang sedang sejuk. Sampai saat ini dia masih menikmati perjalanannya. Hal serupa juga dirasakan si calon pengantin di belakang. Iman selalu dengan kehati-hatian tingkat tinggi saat melewati setiap lekuk jalanan. Tak mau ambil risiko dengan mengebut. Seperti arahan penumpangnya: santai, yang penting sampai. Tapi tiba-tiba, Iman merasakan ada yang tidak beres dengan motornya. Lajunya menjadi bergoyang. Dia injak pedal rem perlahan. Motor berhenti. Dia tengok ke arah ban belakang. Dugaannya tak meleset. Kempes.

Iman dan Wina turun dari motor. Iman jongkok memeriksa roda. Kehilangan udara secara mendadak pasti karena ada sesuatu yang menusuknya. Benar. Ada paku kecil yang menancap di antara bunga ban. Sekuat jarinya Iman menarik paku tersebut. Lepas. Iman membuangnya ke pinggir. Dia berdiri. Menatap Wina. "Kakimu masih baik-baik saja kan? Kita jalan dulu."

Wina mengangguk mengerti. Motor sedang tak bisa ditumpangi. Hal terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah: mendorongnya ke tukang tambal ban yang masih jadi misteri di mana keberadaannya.

Iman mendorong motor. Wina berjalan di belakang sambil menenteng helmnya. Iman berkali-kali menoleh. Wina berkali-kali meyakinkan dia baik-baik saja. Saat melintasi tanjakan, Wina membantu mendorong untuk memperingan beban Iman. Langit di atas mulai menggelap. Iman berseru dalam dadanya. Jangan sekarang, Ya Allah. Mereka masih berada di bagian jalan yang sepi. Pemukiman warga entah di mana. Tidak akan terasa syahdu jika mendorong motor di bawah rintikan hujan. Awan hitam di atas kepala mereka tampak berkoloni. Angin sejuk berubah dingin dan kencang. Satu persatu butir air jatuh. Lalu teman-temannya berjatuhan dalam jumlah banyak. Mata Iman jeli melihat sebuah saung gubuk di muka kebun singkong. Dia standar motornya di jalan. Menarik cepat tas jinjing besar Wina, lalu menarik pemiliknya ke arah saung. Berlindung dari hujan lebat. Meninggalkan motornya yang kempes di sisi jalan. Iman membuka helmnya, menggeletakkannya di tanah di dekat helm Wina.

Saung itu tidak terlalu besar. Mungkin hanya dua kali dua meter, dan tidak berdinding sama sekali. Hanya tiang-tiang yang menopang atap asbes. Entah bekas lapak orang jualan, atau memang tempat beristirahat pemilik kebun singkong. Iman melirik Wina yang berdiri menyilang tangan berusaha menghangatkan diri. Angin dari segala penjuru dengan bebas mengenai tubuh mereka.

"Maafkan aku ya," ucap Iman.

Wina melirik. "Kenapa harus minta maaf?" rambutnya sedikit basah karena secepat apa pun dia berlari, air hujan lebih cepat saat jatuh.

"Karena aku mengajakmu pulang dengan motor, kamu jadi susah seperti ini."

"Itu kesepakatan kita. Risikonya kita tanggung bersama. Gak ada yang perlu minta maaf." Bibir Wina mulai bergetar dan membiru. Kedinginan menusuk badannya. Hujan makin lebat. Angin menderu kencang. Iman yang melihat keadaan Wina, segera menarik habis resleting sweater, membukanya dengan cepat, melapiskannya pada belakang punggung Wina. Gadis itu masih menggigil. Iman menarik tubuhnya masuk ke dalam dekapnya. Membagi hangat, melindungi tubuh si calon pengantin dari terpaan angin.

Dalam pelukan, Wina melirik Iman yang sepuluh senti lebih tinggi darinya. Keadaan pria itu tidak lebih baik. Dia bisa mendengar suara napasnya yang tercampur dingin. Dan merasakan badannya yang bergetar. Pikiran Wina mencaci: ini salah, ini salah. Sementara hatinya berbisik: diam, dan rasakan hangatnya.

Portulaca Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang