Jam setengah tujuh pagi. Sekelompok anak muda tengah berkumpul di pertigaan depan masjid menunggu mobil yang akan membawa mereka liburan. Beberapa dari mereka berdiri berpasangan. Kebanyakan yang lain bernasib naas karena masih terjangkit penyakit bernama jomblo. Jadi, selain untuk penyegaran otak, tour juga bisa jadi ajang mencari jodoh karena banyak juga gadis kampung yang bernasib naas.
Para pria sudah berpenampilan sekeren yang mereka bisa. Mau ke mana pun perginya, ke pantai atau ke gunung, gaya seperti anak band selalu jadi pilihan favorit. Dengan celana yang agak melorot, kaos distro KW, serta gaya rambut yang mereka sebut model Emo, atau apalah namanya, mereka percaya diri mendekati para gadis. Satu dua membuat para gadis terkesan karena ditunjang muka yang memang ganteng. Namun kebanyakan hanya membuat enek.
Beberapa tahun terakhir style anak band memang sedang mewabah di kampung ini. Di kampung lain mungkin juga sama. Tapi itu tidak terlihat pada penampilan Fajar dan Iman yang saat ini sedang duduk di kursi panjang di warung bubur Kang Bahri. Fajar hanya pakai kaos merah berlapis kemeja kotak-kotak warna abu dan hitam, serta jeans biru biasa. Gaya rambutnya belah tengah sembilan puluhan. Sedangkan Iman, pakai sweater hitam dan jeans biru langit. Dia sering pakai topi seperti sekarang. Rambutnya yang agak ikal membuatnya bingung menemukan gaya selain sisir ke belakang. Semangkuk bubur sudah masuk ke perut mereka sebagai sarapan. Kini mereka dan pemuda kampung yang lain masih menunggu mobil yang belum juga datang.
Bagi Iman, mobil bukan satu-satunya yang sedang ditunggu. Ada hal lain yang membuatnya dari tadi terus melirik jalanan. Ayu yang belum juga menampakkan diri. Di balik meja, tiga orang baru saja memesan bubur dan terdengar sedang berebut sambal. Kamal si pemburu recehan, menggerutu karena sambal bubur dihabiskan oleh Datim, pemuda kurus ceking di ujung meja. Pria di tengah adalah Jumadi, saudara Datim. Mereka makan dengan buru-buru.
Beberapa saat berselang, yang ditunggu Iman akhirnya tampak. Iman gesit melambaikan tangan dan langsung disadari oleh Ayu dan Wina yang jalan bersebelahan. Dua wanita itu mendekat. Iman selalu terpesona oleh kemolekan Ayu. Saat ini Ayu tak lagi memakai rok panjang. Melainkan celana jeans hitam yang begitu pas membalut kaki, serta kaos biru navy ketat yang kontras dengan cerah mukanya. Sweater krem dia gunakan untuk menutupi bahu. Para pria memperhatikan dengan mata terpikat. Mengabaikan Wina yang juga sebenarnya cantik. Pakaian yang dikenakan Wina selalu sopan meski belum berhijab. Beda dengan Ayu yang selalu pamer lekuk, yang membuat jakun para pria naik-turun.
"Mobilnya mana?" tanya Ayu begitu tiba di depan Iman.
"Belum datang. Lagi disusul Kang Uyung," jawab Iman. "Tunggu dulu di sini." Menepuk sisa kursi di sebelahnya. Ayu tanpa ragu duduk di sana. Seperti Fajar dan Iman, dia duduk membelakangi tiga manusia lain yang baru saja menghabiskan bubur mereka.
Wina lewat di depan Fajar. "Hai," sapanya dengan seulas senyum.
"Hai," jawab Fajar. "Udah sarapan?"
"Udah tadi di rumah," ucap Wina. Dia duduk di samping Fajar, lalu memiringkan kepalanya menoleh pada Iman. "Makasih ya, Man. Udah diongkosin."
Fajar seketika mendelik. "Keren. Sekalian urang (aku) atuh."
"Aing ongkoh (Aku juga), Man!" Datim bagi suara.
Iman hanya menengok sekilas. "Pake rok dulu. Baru aku bayarin!"
"Serius?" tanya Datim.
"Ngaco kamu, Man!" Jumadi berusaha membela saudaranya. "Pake lipstik juga lah!"
"Udah, Man. Gak usah dengerin Datim sama Jumadi." Kamal ikut terlibat dalam obrolan. "Kalau cuma pakai rok doang mah, Kamal juga bisa."
Iman mendengus kesal. Dia celingukan. Lalu memanggil Kang Bahri yang sedang duduk di bawah pohon mangga. "Kang sini, Kang!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
General FictionKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.