Beberapa bulan setelah kelulusannya, Vivi diterima mengajar sebagai guru honorer di SMA 2. Dia mengajar bahasa Inggris sesuai jurusannya saat kuliah. Saat ini di atas Supra tua yang dipaksa terus menggelinding meski belakangan menjadi sering mogok, Vivi sedang diantar Fajar yang sembari berangkat kerja, menuju sekolahnya. Ini hari pertamanya mengajar. Dia antusias sekaligus sedikit gugup. Perasaan itu dia ceritakan pada lelaki di depannya dan hanya diberi respons santai. Wajar katanya. Namun juga menyemangati. Lelakinya yakin Vivi akan bisa dan biasa. Hubungan mereka mendekati sembilan tahun. Tapi belum ada obrolan serius akan ke mana arah hubungan itu selanjutnya.
Mereka tiba di depan satu SMA di daerah Lamaran. Fajar sempat berkata bahwa nanti pulangnya kemungkinan tidak bisa menjemput. Vivi mengangguk mengerti. Biar nanti dia pulang dengan ojek. Begitu katanya. Setelah pamit, dia bergegas masuk. Sedangkan Fajar melanjutkan menarik gas menuju pabriknya.
Vivi berjalan cepat di koridor. Bersama anak-anak sekolah yang tentu menuju kelas mereka masing-masing. Beberapa anak pria memperhatikan. Karena masih honorer, Vivi masih mengenakan pakaian biasa namun sopan. Tidak terlihat seperti Guru dengan pakaian formalnya. Di depan pintu ruang guru, dia nyaris bertabrakan dengan seorang pria yang mengenakan pakaian coklat-coklat yang hendak keluar. Untung keduanya bisa menahan langkah masing-masing.
"Maaf," ucap Vivi.
Tidak ada jawaban. Pria di depannya hanya diam menatap. Seperti terpukau dengan wajah wanita yang hampir bertubrukan dengannya. Pria itu berbadan tegap dan tinggi. Sedikit lebih tinggi dari Fajar.
"Permisi, boleh saya lewat," kata Vivi kemudian karena si pria menghalangi jalan masuk.
"Oh. Sori. Anda guru baru di sini?" tanya si pria akhirnya.
Vivi mengangguk seraya memberi sedikit senyum.
"Kenalkan. Saya Fadil. Guru Biologi." Pria itu menjulurkan tangannya.
Vivi balas dengan merapatkan tangan. "Shelvia. Panggil saja Vivi. Boleh saya masuk?"
"Oh iya." Si pria menggeser tubuhnya setengah meter. Menyingkir dari pintu.
Vivi melangkah sambil tersenyum ramah. Dia mendekati mejanya di bagian paling belakang peninggalan guru yang digantikan olehnya. Dia sudah berkenalan dengan guru-guru di sana kemarin siang. Kecuali dengan pria yang barusan bertemu di pintu. Vivi duduk. Memeriksa jadwal di kelas mana saja dia akan mengajar hari ini.
Fadil, seorang guru muda berusia dua puluh tujuh, masih memperhatikan Vivi di dekat pintu. Dia belum pergi dari sana. Seolah tak hanya cukup sekilas melihat guru baru yang baru saja berkenalan dengannya. Tatapannya seolah seperti penuh dengan rencana-rencana. Sesaat kemudian dia baru menggerakkan kakinya. Pergi dari pintu ruang guru.
***
Vivi melangkah keluar dari ruang guru dengan tersenyum puas. Selesai sudah tugasnya hari ini. Dia bergumam mengucap syukur. Hari pertama mengajarnya berjalan lancar. Suasana sekolah sudah agak sepi karena anak-anak sudah bubar pulang setengah jam yang lalu. Hanya tersisa mereka yang mengikuti ekskul di lapangan dan di dalam aula. Beberapa menyapa ramah. Sudah kenal dengan guru bahasa Inggris baru mereka. Vivi terus melangkah menuju ke arah pintu gerbang.
Dia berdiri di tepi jalan. Mengetuk-ngetuk HP hendak memesan ojek online yang dia sesali kenapa tidak dari tadi dia lakukan. Matahari masih cukup terik. Jalanan di depannya penuh dengan kendaraan. Lalu, sebuah mobil putih berhenti tepat di depannya. Kaca mobil bergeser turun.
"Ibu Vivi pulang pakai apa?" tanya Fadil di belakang kemudi.
Vivi agak merendahkan badan. "Ini lagi mau pesan ojek Pak Fadil."
"Memangnya pulang ke mana?"
"Rawamerta."
"Loh. Saya ke Kutawaluya. Kita searah. Ibu mau bareng saya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
Ficción GeneralKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.