Bab 12 : Surat

5 2 0
                                    

Hari telah berganti. Lalu berganti lagi. Dan terus berganti. Sama halnya dengan waktu yang terus berputar tak bisa dicegah. Tidak ada teknologi mana pun di dunia ini yang bisa menghentikan perputaran waktu. Kecuali maha pemilik waktu itu sendiri.

Setelah menamatkan Iqro tiga di minggu pertama, pengajian privat itu berlanjut dari bab ke bab. Fajar hanya meminta Vivi membaca satu halaman per malam. Pelan-pelan, sedikit-sedikit, yang penting gadis itu bisa paham dengan baik. Jika ada yang masih sering salah, tidak perlu berharap besok bisa geser ke halaman berikutnya. Vivi bahkan remedial di Iqro enam. Dia mengulang keseluruhannya. Fajar yang meminta dengan dalih masih ada bacaan tajwid yang sering keliru, atau Vivi masih sering lupa. Tidak ada manusia yang sempurna, tapi lelaki itu menuntut kesempurnaan dari bacaan Alquran. Sikapnya tegas meski sering terkamuflase oleh perkataan yang lembut. Vivi sebagai murid yang baik, dan sayang pada guru mengajinya, hanya patuh tanpa bantah. Dua bulan kemudian, semua bab di buku Iqro telah selesai mereka bedah.

Lalu berlanjut pada buku berikutnya, Juz 'Amma, yang berisi kumpulan surat-surat pendek yang berada juz tiga puluh. Saat ini, Vivi sudah lebih baik dalam membaca rangkaian huruf Arab. Fajar menambah pelajaran hafalan surat pendek yang berguna untuk salat muridnya. Satu dua ayat sekali menghafal dirasa cukup. Fajar juga membeli buku-buku sejarah Nabi. Vivi harus mengenal lebih jauh tentang Nabinya, yang menjadi panutan bagi seluruh umat di alam semesta. Mungkin pernah dia dengar di sekolah, tapi Fajar ingin bercerita dari hati ke hati melalui buku-buku yang dia bawa. Jadi, tiga hari di awal pekan Vivi menghafal surat. Tiga hari berikutnya belajar Sirah Nabawiyah. Keduanya dilakukan setelah membaca Juz 'Amma. Begitu kurikulum yang dibentuk Fajar.

Vivi selalu menyimak dengan khidmat saat Fajar bercerita tentang sejarah Nabi. Tentang pengorbanan ibunda dari kaum Muslimin Khadijah dalam mendukung sang Nabi. Tentang bagaimana romantisnya Aisyah pada sang Nabi. Vivi selalu tertarik mendengar itu. Di balik tirai, bukan hanya Ibu Dewi, kadang Pak Wira juga mengintip memperhatikan putrinya yang mengaji dengan wajah berseri. Dia tersenyum tipis. Tapi kebahagiaan dalam hatinya lebih dari itu. Dia hanya terlalu kaku untuk menunjukkannya. Dan dengan Fajar, dia tidak pernah mengobrol banyak. Hanya sesekali bertegur sapa, setelah itu, sudah. Dia memang sengaja mendinginkan sikap. Beda dengan istrinya yang sudah jauh lebih akrab. Dia tidak mau pemuda itu salah arti. Sampai detik ini, pendiriannya masih kokoh, tak bergeser satu mili pun, tak mengizinkan anak gadisnya berpacaran dengan siapa pun.

Setelah beberapa minggu, Vivi baru saja menuntaskan Juz 'Amma. Dan dia juga sudah terbiasa menjalankan salat lima waktu. Dari yang semula membiasakan dengan Magrib, bertambah ke Isya, lalu membiasakan pada waktu yang lainnya. Bertahap seperti arahan Fajar. Memang awalnya dia salat karena mengikuti keinginan dan arahan dari Fajar sebagai guru mengajinya, sekaligus pacarnya. Tapi lambat laun, rasa tidak nyaman selalu muncul ketika dia belum menjalankan salat. Membayangi pikirannya, membuatnya gelisah. Rasa tidak enak yang hadir bukan karena guru mengajinya, tapi tidak enak pada Tuhannya. Rasa itu tumbuh begitu saja, mengalir dengan lembut hingga memenuhi hatinya. Hingga akhirnya, dia tiba pada satu keputusan. Dia harus memperbaiki niat. Beribadah bukan karena manusia lain, tapi beribadah karena Sang Pencipta. Kewajibannya sebagai seorang hamba. Tiang agamanya. Seperti saat ini, menjelang malam pertambahan umurnya yang tanpa perayaan, dia baru saja mengucap salam di akhir salatnya.

Vivi masih duduk di atas sejadah dan masih bermukena di dalam kamarnya. Menatap kotak berlapis kertas kado bergambar bunga Sakura yang tergeletak di atas tempat tidur. Diraihnya kotak itu. Dia tatap, dia usap. Tak ada tulisan apa pun di atasnya.

"Buka setelah kamu Salat Isya."

Vivi mengingat ucapan Fajar saat memberinya selepas mengaji. Dia buka dengan hati-hati selotip yang merekat. Pembungkusnya terlalu cantik untuk dirobek. Membuka lipatan pertama dan kedua. Terlihat selembar kertas terselip. Vivi menariknya. Terdapat rangkaian tulisan tangan yang begitu rapi di sana. Kotak kado dia taruh di pangkuannya. Lalu mulai membaca tulisan dalam kertas.

Portulaca Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang