Pukul lima tiga puluh di Minggu pagi. Semburat kemerahan sudah tampak di bagian timur bumi. Udara masih sangat segar. Orang-orang kampung sudah memulai aktivitas dengan semangat yang masih di level tinggi. Seorang ibu yang sedang menyapu halaman dengan sapu lidi, menyapa Kang Bahri, si penjual bubur ayam yang mendorong gerobak menuju pertigaan masjid tempatnya biasa mangkal. Warung-warung sudah buka. Di depan teras salah satu rumah, ibu penjual nasi uduk cekatan membuat pesanan pembeli. Seorang petani dengan cangkul di pundak juga mampir di sana, meminta dibuatkan sepiring nasi uduk untuknya sarapan. Mukanya tampak cerah di hari yang masih temaram. Mengobrol dengan petani lain tentang air dari irigasi yang mulai kembali mengaliri sawah. Bersiap memulai musim tanam. Obrolan yang sederhana namun hangat. Sehangat dan sesederhana nasi uduk yang tengah mereka santap.
Di jalanan, sebuah agenda mingguan penting juga sedang dijalankan oleh para pemuda. Mereka lari pagi dengan santai. Mencari keringat bukan tujuan utama mereka. Hanya satu dua orang yang melakukannya benar-benar untuk olahraga. Sisanya, hanya untuk tebar pesona, cuci mata, jual tampang pada lawan jenis. Dengan style mereka yang, ya ... Begitulah. Mereka bergerak menuju tempat nongkrong paling populer yang ada di kampung itu. Sebuah komplek petilasan penuh sejarah milik seseorang bernama Eyang Endin.
Eyang Endin adalah sosok tetua kampung yang sudah wafat bertahun yang lalu. Komplek kediamannya sudah kosong tak terurus. Separuh bagian rumah bahkan sudah roboh. Dulu, di atas kolam ikan yang luas itu terdapat bangunan kayu yang biasa digunakan anak-anak untuk mengaji. Tapi sekarang sudah ambruk tak tersisa. Bangunan kecil yang kerap dipakai sang Eyang untuk bersemadi pun hanya meninggalkan puing. Bekas kejayaannya hanya tersisa pada gapura beton yang masih berdiri kokoh, yang di atasnya terdapat dua patung naga hijau bermahkota di sisi kiri dan kanannya. Lima puluh meter di depannya, terdapat gapura lain yang berbatasan langsung dengan jalanan kampung. Bedanya, di atas gapura itu berhias dua patung monyet yang saat ini tinggal tersisa satu. Kadang anak-anak nangkring di atas untuk cosplay sebagai patung monyet yang satunya. Di sanalah biasanya para pemuda saling bertemu. Nongkrong tak ada bosannya. Karena memang kebanyakan dari mereka freelance, atau, sebut saja pengangguran, tak hanya di Minggu pagi saja mereka nongkrong di sana. Setiap hari selepas asar hingga menjelang magrib, mereka selalu memenuhi tempat itu. Mengobrol, bermain gitar, atau hanya melihat pemandangan orang lalu-lalang dengan duduk-duduk di atas pagar tembok setinggi satu meter yang memanjang di antara dua gapura.
Minggu pagi terasa spesial karena banyak anak muda, khususnya betina dari kampung tetangga yang juga berdatangan dengan alibi olahraga. Tak hanya di sekitar gapura patung monyet, mereka juga banyak di sekitar pintu air irigasi. Masyarakat sekitar menyebutnya 'Bedeman'. Tempat nongkrong yang tidak ada kerennya sama sekali. Pemandangan yang didapat pun hanya berupa eceng gondok yang hanyut di air keruh. Tapi, ya mau bagaimana lagi. Yang namanya di kampung memang tak banyak pilihan tempat untuk bergaul. Tidak ada cafe atau pun mal. Ada warung Kang Gandi yang menyediakan meja biliar sewaan, tapi itu letaknya di ujung kampung sebelah utara. Dan nyaris bersebelahan dengan pemakaman umum yang tempo hari Fajar dan Iman ikut tawur. Para pemuda yang hidupnya agak hedon banyak yang menghabiskan malam Minggu di sana.
Pukul enam pagi suasana sudah mulai terang. Muka orang-orang berbagai bentuk sudah terlihat jelas. Jika tidak berdiam di gapura patung monyet atau pintu air, mereka jalan santai, atau berlari selayaknya joging di jalanan yang sisi kiri dan kanannya diapit persawahan yang luas tanpa terhalang pemukiman warga. Atau lebih beken dengan sebutan: 'Totoang'. Yang umumnya menjadi pemisah kampung satu dengan yang lainnya. Totoang selalu ramai setiap Minggu pagi oleh para pemuda yang 'berolahraga'. Jika beruntung, mereka bisa berjumpa dengan tukang putu atau gemblong sehingga bisa sekalian mengisi perut sebagai sarapan.
Fajar dan Iman yang keluar rumah agak telat baru saja tiba di pertigaan masjid. Fajar memakai celana pendek dan berkaus putih. Serta memakai sepatu kets warna hitam. Sementara Iman, yang dia kenakan dari atas sampai bawah semuanya berwarna hitam. Termasuk topinya. Gaya kedua bocah sudah pas untuk kegiatan lari pagi. Tapi dari sejak melangkah dari rumah, mereka hanya jalan sambil sesekali melakukan peregangan dengan tangan. Pertigaan sudah mereka lewati. Gapura patung monyet yang menjadi kiblat nongkrong anak gaul seantero kampung masih dua ratus meter di depan sana. Mereka sepertinya juga menuju ke sana, atau lewat sedikit, ke pintu air irigasi, lewat sedikit lagi, Totoang, lalu sampai ke kampung tetangga. Rekor terjauh lari pagi mereka adalah sampai ke depan kantor kecamatan. Mereka pulang dengan ojek saat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Portulaca
Fiksi UmumKarena sebuah janji harus ditunaikan hingga tuntas. Apalagi, jika harga diri keluarga ikut terseret di dalamnya.