Prolog

950 29 2
                                    

Pohon Kehidupan

Pohon Kehidupan. Avenderoza. Pohon penuh keajaiban, lambang keagungan. Begitulah orang-orang menyebutnya. Indah sinar mentari, bergemerlap seperti malam. Sumber pengharapan ketika cahaya tak lagi dapat menuntun, ketika malam menguasai Masa-Masa Kelam.

Saat kepercayaan menjadi amat langka dijunjung, saat cemar hitam menular mempengaruhi mata hati manusia. Membuat mereka semakin melesak kedalam kehampaan tanpa akhir. Penyiksaan tiada berujung. Sang penentu jalan dan takdir.

Sedikit yang tersisa setelah perang besar usai, dan lebih langka lagi pohon yang tak tersentuh cemar. Titian penghubung antar dunia dan dimensi, antara masa depan dan lalu. Melalui cara yang telah pudar dari Legenda. Nï ávenderòza.

《《《□■□》》》


Kabut hitam pekat terlihat menggelayut di permukaan, sinar mentari senja samar-samar menampakkan siluet abunya. Mendesak masuk kedalam kegelapan tiada akhir. Desiran angin memecahkan keheningan yang mencekam. Berkas cahaya masuk menembus kabut pekat yang tak kunjung hilang, mengilaukan butir-butir debu yang melayang di udara.

Coreng jelaga mengotori setiap jengkal lantai istana, dan sepuh emas yang tersasat dari dinding yang dulu megah. Panji-panji berlukiskan lambang Matahari dan Bulan tampak bergemerlapan di sepanjang lorong, panji-panji perang, Panji-Panji Sang Raja.

Serpihan batu berserakan tak menentu. Di dinding, lantai, bahkan langit-langit terlihat bekas terbakar. Mayat bergelimpangan dimana-mana, menatap nyalang membeku tak percaya. Sayatan, tanah, genangan darah menyebar sepenjuru ruangan. Menambah kengerian suasana istana.

Perabot berukir indah bertatah perak, pecah terguling akibat lantai yang beriak. Gemuruh petir perlahan menyurut. Keadaan kembali sunyi senyap, gelap mencekam.

Ia berlari menembus malam, peluh keringat membanjiri sekujur tubuhnya. Matanya menyiratkan rasa waspada. "Margareth, sayang. Dimanakah engkau?". Jubah putihnya ternodai bercak lumpur dan tanah, terseret melalui genangan darah saat ia melangkahi mayat seorang penjaga.

"Margareth? Se--Sean! Kemanakah gerangan semua orang?"

, Mata lelaki itu menunduk, menangkap bayangannya sendiri di permukaan kolam. Jubahnya yang megah, perpaduan warna putih dan emas, dari kain sutera halus, kini terkoyak dan kotor. Berlapis jelaga yang menutupi rambut dan kulitnya. Wajahnya seolah tak berusia, matanya yang gelap sudah melihat terlalu banyak. Lambang matahari emas tersulam rapi di jubahnya, berkilau diterpa sinar rembulan.

Sejenak ia memandangnya, menyentuhnya dengan khidmat. Kenangan pahit seakan kembali merasuki pikirannya. Ia berjengit, "Tidak, ini ilusi." ucapnya parau.

Kepalanya menggeleng kuat. Dengan satu sentakan cepat, ia membalikkan tubuhnya. Jubahnya berkibar dibelakangnya, langkahnya menggema di lorong-lorong tak bernyawa.

"Lihatlah dirimu," Angin kembali menyerbu ganas. "Wahai penguasa siang."

Suara berat muncul secara tiba-tiba dibelakangnya. Lelaki itu mematung, tubuhnya gemetar. Kedua tangannya mengepal erat seolah melepaskan amarah yang telah dipendam bertahun-tahun. Ia menaikkan kepalanya, menatap tajam ke kegelapan malam.

"Kata," Ia menengadah.

Lelaki berjubah hitam itu menyeringai, seringai tajam. Sejurus ia memandang sekitar, bibirnya berkerut jijik. "Rupanya kau masih ingat ya? Yah, tentang itu." Ia turun dari balkon, jubahnya diangkat tinggi saat ia melewati beberapa mayat. Renda seputih susu menggantung di kemeja, sabuk perak tertata apik melingkari pinggangnya. Gemuruh petir terdengar sangat nyaring, tetapi perhatiannya terpusat pada sang lelaki berjubah putih.

The Legend of WarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang