Desa Trlenýa

151 6 0
                                    

Han berlari dengan jantung berdebar-debar, dan dia menatap gundukan tanah disekitarnya dengan ngeri. Tempat ini bukan hanya terlambat didatangi musim semi; Semi tidak pernah datang kemari, dan tak akan pernah. Tak ada yang tumbuh di tanah lempung yang berderak dibawah sepatu kulitnya, rumput pun tidak.

Dia berlari melewati bukit besar, menjulang tinggi diatas kepalanya; debu melingkupinya seakan tak tersentuh setetes pun hujan. Matahari serupa bola merah darah yang meraksasa, lebih panas dari hari terterik pada musim panas dan cukup menyilaukan untuk membakar matanya.

Sangat jelas di latar langit yang serupa kuali timah, berisi awan perak dan abu tajam, mendidih dan menggelegak di cakrawala. Meskipun awan tetap bergejolak, tak ada angin yang berbisik di tanah. Dan meskipun matahari tampak garang, udara dingin menggigit seakan membeku.

Han menoleh ke belakang sembari berlari, ia tak dapat melihat penyerangnya, kosong menghampa. Hanya ada perbukitan tandus dan pegunungan hitam yang menggerigi, mengeluarkan kepulan asap hitam yang membumbung tinggi. Bergabung dengan awan yang berpusar.

Dia dapat mendengarnya, ia mendengar suara pengejarnya, tekak bersahut-sahutan dalam kegembiraan yang memburu, mendesis demi kenikmatan darah yang segera dihirup. Oryn. Semakin dekat, dan kekuatannya tersedot habis.

Dengan putus asa, ia memanjat bukit setipis abu itu. Jatuh berlutut akan kesakitan yang tiada dapat dijelaskan. Dibawahnya, panorama berubah, bukit itu menukik menjadi dinding batu terjal, tebing beratus meter yang menghujam ke dalam kawah berapi. Diliputi kabut asap, permukaannya yang kelabu bergelombang suram, berombak dan berdebur pada kawah sekelilingnya.

Petak-petang asap berpendar merah sekejap, seolah api besar melahapnya, lalu padam. Guntur bergemuruh di kedalaman tebing, dan petir berdegam di atas kepalanya.

Bukan kawah itu yang menyedot tenaganya dan mengisi ruang kosong dengan ketakberdayaan. Dari tengah-tengah kawah, menjulang sebuah makhluk raksasa. Menggeram perih penuh amarah, kebencian. Lebih tinggi dari gunung manapun yang pernah ia lihat. Sorotan mata sehitam keputusasaan. Raksasa itu, belati yang menikam langit, menara hitam kelam, adalah sumber kenestapaannya.

Dia belum pernah melihatnya, tetapi mengetahuinya. Kenangannya berombak seperti air panas saat ia mencoba mengoreknya, tetapi pikiran itu ada. Dia tahu ada.

Jemari dingin menyentuhnya, menarik bahu dan lengannya, berusaha menariknya dari kawah itu. Tubuhnya gemetar, seakan terhipnotis. Otot-ototnya menegang, seolah dia ingin menghujamkan jarinya ke dalam batu. Tali-tali tak kasat mata menariknya, memanggilnya kedalam kawah.

Tubuhnya dihiasi jelaga, air mata membasahi mukanya, dan dia roboh ke tanah. Kekuatannya surut laksana es yang mencair. Sekali lagi saja, ia pasti akan mematuhi. Menaati perintah.

Emosi lain mendadak memenuhi dirinya, amarah. Amarah yang meluap-luap. Bola matanya yang cokelat berpendar merah bara api. Ibarat tali simpul, ia berpegang teguh pada tali tersebut. Seperti kapal yang terombang-ambing.

Kau tak dapat lolos. Bisikan dalam keheningan pikirannya, ia mengenalnya. Dia yakin mengetahuinya,

Mengabdilah padaku, ia meggeleng keras. Tidak, tidak!

Suara itu makin nyaring, Mengabdilah Padaku!

"Syaitan, semoga Sinar membakarmu!"

Lalu berubah, ia berada di tepi taman. Orang-orang menyorakinya, memujinya dengan syair-syair merdu. Menyuruhnya untuk berjalan masuk kedalam gerbang. Ia melangkah, toh tempat itulah yang akan ditujunya. Teriakan semangat menggema ditelinganya.

Para wanita menebarkan kelopak bunga di jalan depannya, dan lagu pun makin keras. Anak-anak perempuan berlarian menyapanya. Para lelaki mengucapkan sesuatu, yang merupakan bagian dari syair lagu. Inilah takdirmu, Ia semakin mempercepat langkah. Senyum tersungging diwajahnya,

The Legend of WarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang