Bunyi halilintar menghiasi langit merah senja itu.
Kicauan burung syahdu menghiasi kanopi-kanopi hutan yang tebal, terbenam bermandikan sinar matahari. Sinar pagi menerpa rambut serpih peraknya, menimbulkan lekukan berkilau di garis-garis rambut. Tangannya memegang busur dan anak panah. Perlahan merunduk diantara rerumputan pakis dengan tali busur telah terentang lebar.
Dihadapannya, seekor rusa putih jantan merumput dengan santai, tak waspada akan ketajaman anak panah yang telah dikamuflasekan begitu baik di semak belukar.
Shosshh....
Anak panah melesat cepat meninggalkan tali busur. Ketajamannya menderak lewat melintasi tumpukan daun kuning, melintas jarak secepat angin. Dan menabrak selapis tebal bulu kuning lembut, yang memencarkan aliran kental merah di atas rerumputan basah berlumpur.
"Amigo dias, Miko!"
Laki-laki kekar itu berteriak penuh kemenangan. Senyum lebar tersungging di wajahnya sementara daun mahkotanya meluncur dari punggungnya.
"Kau belajar dengan cepat."
Ia tersenyum senang, melihat hasil buruannya yang lumayan besar. Ekor anak panah menceruat tepat di depan dadanya, genangan darah segar membasahi seluruh lapisan bot mereka, mata rusa yang putih jernih. Sesajen untuk para Tetua.
Miko mengambil cangkir yang disampirkan di pangkal batang pohon Oak, menciduk darah mengalir. Tradisi kuno masih terlihat kental di desa ini, ia mendongak.
"Hehe, terima kasih Paman."
"Daniel, Miko. Ayo cepatlah, para penjelajah telah pulang!" Gadis itu berteriak dari puncak lembah, kepangan rambutnya disandangkan kebelakang. Renda putih apik berkibar dibelakang sedangkan mahkota daun terbujur kaku di ubun-ubunnya. Maya seperti Putri dalam dongeng.
Daniel bergegas menaiki bukit, sambil menyeret-nyeret tanduk hewan malang itu, perih rasanya melihat hewan itu sekarat. Miko menyandangkan busurnya, jaketnya ia eratkan untuk menghangatkan tubuh sekaligus menutupi benda pentingnya.
Belati peninggalan ayahnya, kesedihan masih menggelora di batinnya. Dan pikirannya masih segelap kalbu. Hanya pisau ini yang mengaitkannya dengan rumah, dunia. Menjaga agar sang kegelapan baik tak tercemar, perlahan hilang melalui titian gema waktu. Dan kalung, tentu.
Daniel berteriak di ujung atas,
"Hei kawan! Apa yang membuatmu lama di sana?""Sebentar Paman!"
Ia menaiki bukit dengan lambat, kakinya selalu diseret di tanah. Tampaknya orang tuanya tak mengajarinya tata krama berjalan, atau memang dari sananya seperti itu. Miko bukanlah orang yang serius dalam segala hal, ia selalu menganggap semuanya lelucon. Celelekan, selalu tertawa girang setiap kali Daniel terjatuh dari bangku kayunya.
Beberapa kali pula ia tersandung batu. Yang dilakukannya hanyalah tersenyum, kikuk menutupi rasa malu.
Butuh beberapa menit perjalanan untuk sampai ke balai desa. Baju Miko terkena noda tanah dan lumpur, basah terterpa embun dan kabut. Ia tak menghiraukannya. Tapi anehnya, ia tetap tampak jemawa di dalam balutan sutra hitam itu.
Gadis itu menggandeng tangan mereka, menariknya hingga mereka ikut berlari dengannya di hamparan rumput merah. Matahari semakin tenggelam dan langit kembali bersepuh kuning. Banyak orang telah berkumpul di tanah lapang menyaksikan para penjelajah memasuki Gerbang Utama. Mereka penuh dengan cabikan, dan panah yang mencuat serta muka yang terbakar.
Pilinan lilin dan hidangan melimpah telah disediakan untuk menyambut kedatangan mereka. Sementara syair dan mantra dibacakan oleh para dayang Tetua. Api disibakkan dan air kembang telah dituangkan, saatnya memasuki pesta hidangan yang meriah, dengan cerita-cerita menakjubkan yang dibawa oleh para penjelajah.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Legend of Wars
Przygodowe"Berikan tongkat itu padaku, sekarang." teriak Kata. Tak ada hak untuk hidup, tak ada alasan! "Tunduklah padaku. Lupakan semua ikrarmu. Janjimu!" Kematian berada didepannya, kematian berada ditangannya. Morin menengadah, satu keputusan akhir telah...