Kehancuran dunia dimulai saat aku membunuh seekor burung 'gagak'.No one's POV
Embusan angin melekatkan Jubah Miko ke punggungnya, mengepak-ngepakkan wol berwarna tanah di sekeliling kakinya. Ia menyesal tak memakai baju selapis lagi, atau setidaknya memakai jaket yang lebih tebal. Beberapa kali saat dia berusaha untuk menarik jubahnya agar membungkus tubuh, jubah itu berujung tersangkut pada tarkas yang berayun di pinggangnya.
Mencoba memegangi jubah dengan satu tangan nyaris tak ada gunanya; sedangkan tangan sebelahnya memegang busur, dengan panah terpasang dan siap ditarik. Sedang angin terus berhembus,
Angin bertiup di pegunungan Halimun. Bermula di pucuk-pucuk yang senantiasa berselimut kabut, yang menjadi nama pegunungan itu, angin bertiup ke barat, melintasi Lembah Willow, yang dulu merupakan pesisir samudra luas, sebelum datangnya Kehancuran Dunia.
Angin melecut turun ke daerah Darkwood, sebelah Dua Sungai, ke hutan lebat bernama Hutan Barat, dan menerpa kedua lelaki yang berdiri di hamparan padang rumput Setapak Batu. Meski seharusnya musim dingin datang beberapa bulan lagi, angin itu membawa hawa sedingin es, seolah-olah ingin menumpahkan salju.
Saat angin kencang menyentakkan jubah dari tangan, Miko melirik temannya lewat jari-jari tangan yang beku. Dia merasa agak konyol, karena ingin meyakinkan dirinya Henno masih ada, tetapi Masa-Masa Kelam memang menjamin hal seperti ini. Angin melolong saat bertiup, tapi selain itu, suasana diliputi sunyi.
Secara naluriah, Miko menyentuh pangkal anak panahnya---siap ditarik ke pipi dalam satu gerakan mulus, seperti yang diajarkan Daniel. Musim dingin kali ini cukup buruk bagi pertanian, yang terburuk sepanjang ingatan para sesepuh. Keadaan di gunung mungkin lebih kejam, dilihat dari jumlah serigala yang terpaksa turun ke hulu Dua Sungai.
Serigala terkadang menyerang kandang domba dan menggigiti dinding gudang untuk memangsa ternak dan kuda. Beruang pun begitu. Sekarang, sudah tak aman untuk keluar rumah setelah gelap. Manusia juga dimangsa sama seringnya dengan domba, dan tak selalu setelah matahari terbenam.
Henno melangkah mantap di sebelah Revva, kudanya. Menggunakkan tombak sebagai tongkat berjalan, tanpa menghiraukan angin yang membuat jubah hijaunya berkibar. Sikapnya seolah berkata, serigala dan beruang memang lawan tangguh, tapi jangan berani-berani mencoba mencegah Henno 'Khal mencapai Morning's Meadow.
Dengan sentakan rasa bersalah, Miko kembali mengawasi alam, kegigihan Henno mengingatkannya pada tugasnya. Dia jadi mengingat ayahnya, dirinya lebih tinggi satu kaki darinya, dan ia tak terlalu mirip dengannya. Mata biru dan nuansa perak rambutnya memang berasal dari ibunya. Darah campuran, ras yang paling ditakuti.
"Kau lihat palang putih itu, Nak? Bidik dengan panahmu."
Ia menyambar busur dan panah dari punggungnya, buru-buru memeriksa bulu panah sebelum memasangnya lagi, dan menariknya setengah sebelum mengendurkan kembali tali busur.
"Ada apa?"
Sesuatu menggelitik batinnya. "Ada gagak di atas."
Henno menggelengkan kepalanya. "Dan kau tak berani membidik? Panahlah. Setidaknya burung itu akan terbang, bahkan yang lambat sekalipun." Dia berjalan ke belakang sanggurdi, mantelnya mengepak-ngepak tertiup angin. "Kau terlalu lembut, Nak."
"Berbelas kasih, sangat sulit bertahan hidup pada masa ini. Kalau tidak, yah... hari seperti ini sering membuat orang kehilangan nyawa."
Ia menarik panah, "Bagaimana kalau ia mati?"
"Bukan salah kita. Semua hewan tahu itu."
Miko terdiam sejenak, "Bagaimana kau bisa pastikan itu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Legend of Wars
Avventura"Berikan tongkat itu padaku, sekarang." teriak Kata. Tak ada hak untuk hidup, tak ada alasan! "Tunduklah padaku. Lupakan semua ikrarmu. Janjimu!" Kematian berada didepannya, kematian berada ditangannya. Morin menengadah, satu keputusan akhir telah...