Syair berirama berkumandang saat mereka mendekat, alih-alih suara keramaian orang dikejauhan. Senja disini sangat menakjubkan, awan berdalih menari di bentang cakrawala. Entah telah berapa lama disini, namun kita sudah sangat terbiasa.
Suara derap kaki memecah keheningan kali ini, kuakui, kota disini sangatlah padat. Sangatlah berbeda dari tempat manapun yang pernah aku jelajah. Meski lelah, kaki tak dapat berkompromi. Rasanya ingin sekali terus berjalan, seperti ada sihir di udara malam ini. Matahari terbenam disini sangat indah, terang menyilaukan. What a beautiful light!
Mataku menyingkap sesuatu yang familiar di depan. Karnaval Lentera. Hehmm, jadi ingat masa kecilku dulu, seringkali aku menerbangkannya bersama ayah. Seulas senyum mengembang dibibirku, tak kusangka mataku basah. Cepat-cepat kuusap dengan kain bajuku. Mungkin kami bisa menikmati kenangan ini bersama, dengan minuman hangat, dan coklat. Mungkin. Hanya saja, bila ayah tak pergi.
Hei, tapi toh aku masih bisa melihat karnavalnya. Kutengokkan kepalaku kebelakang, rupanya Miko masih mengagumi barang-barang aneh itu. Bila kutinggal sebentar, tentunya ia tak akan pergi kemanapun. Jadi, yah... aku tinggalkan ia beberapa blok kearah depan.
Setelah ia luput dari pandangan, aku mempercepat langkahku. Saking bersemangatnya menerobos kerumunan. Namun cerobohnya aku, kakiku tak sengaja menjegal seseorang. Ia kaget; aku juga, keseimbangan kami hilang. Beruntung diriku, ada tiang yang menumpu tanganku, segera kukaitkan badan.
Dikota seramai ini, waktu antara linglung dan sadar hanya sepersekian detik saja, atau punggungmu akan tertindih gandar-gandar gerobak pedagang. Tentunya, mereka akan memandangmu tanpa rasa bersalah.
Lelaki pendek itu jatuh telungkup, kedua tangan gempalnya menahan beban tubuh. Rentetan kata-kata kotor keluar dari mulutnya. "Maaf, maaf!"
Ia berkacak pinggang, menatapku lugu. Matanya menatap sinis, acuh tak acuh seolah aku hanyalah bocah yang tak tahu sopan santun. Beberapa orang berhenti, berharap dan menanti kejadian seru yang akan berlangsung. Kami saling pandang sebentar dan akhirnya ia pergi saat sadar bahwa aku tak akan berbicara satu katapun.
Hh, syukurlah. Aku tak mau berurusan dengan orang yang bahkan tak kukenal sama sekali, barangkali ia dapat menjadi musuh atau apapun. Zaman sekarang memang susah, banyak musuh lihai mengintai di berbagai sudut. Hhm, menghayal lagi..
Suara terompet terdengar melengking di ujung putaran. Karnaval akan dimulai, dalam tradisi lentera pertama yang diterbangkan adalah milik sang penguasa, raja, atau petinggi negara diikuti oleh rakyat. Aku menebak, siapakah gerangan penguasa negeri ini?
Matahari semakin turun, suasana gelap merayapi cakrawala seakan menjalari tubuhku perlahan. Hawa dingin mengusap lenganku, membuatku merinding. Langit semakin gelap, dan lentera telah menunggu. Aku menyelusup di antara kerumunan, masing-masing telah menyulut lentera mereka, menunggu kepastian. Dua kuda berderap masuk dari gerbang utara, sepasang pemuda berjubah meloncat turun dari pelana.
Gumaman tak sabar keluar dari mulut para penduduk, mata mereka terus saja memandang ke depan, berbinar hitam terterpa pancaran neon.
Salah satu satu dari penunggang kuda memakai Tunkx, bahan beludru tipis dari serbuk kapas. Pedang tersarung rapi di pinggang mereka. Gumaman spontan berubah menjadi irama merdu, melodi asing yang telah pudar seiring dimensi. Indah, namun aneh pada saat bersamaan. Mungkin karena ku tak dapat menangkap apa yang mereka katakan.
Lilin-lilin api menyingkapkan pandangan, alih berdalih seperti roda yang berputar. Memintal dan merasakan,
"Enya mare, Len arrafath. Râffathael ni Arres.."

KAMU SEDANG MEMBACA
The Legend of Wars
Adventure"Berikan tongkat itu padaku, sekarang." teriak Kata. Tak ada hak untuk hidup, tak ada alasan! "Tunduklah padaku. Lupakan semua ikrarmu. Janjimu!" Kematian berada didepannya, kematian berada ditangannya. Morin menengadah, satu keputusan akhir telah...