Libur musim dingin telah dimulai. Aroma salju mulai menyelimuti pohon-pohon. Tak ada burung berkicau pagi ini, suasana hari tampak tentram. Daun berguguran menghiasi tanah, siulan angin sepoi-sepoi menambah rasa kantuk yang menggelayut. Matahari terlihat malas menampakkan dirinya.
Miko telah mengambil cuti untuk pulang menuju rumah ayahnya. Ren, rekan kerjanya memilih untuk tinggal di apartement. Semenjak hari itu, ia selalu gugup bertemu pandang dengannya.
Ia menyetir mobil ke desa ayahnya, Northenville. Yang berjarak sekitar 5 mil dari kotanya. Ia takut, dirinya tak pernah bertemu dengan ayah setelah ia memutuskan untuk kerja di kota. Rasa aneh menyelubungi benaknya, tetapi ia tetap datang.
Suasana pedesaan mulai menyerbak masuk, rumput hijau terlihat basah berembun. Damai dan tentram, tak ada bunyi klakson maupun kendaraan. Pohon-pohon menjulang tinggi, daun berguguran tepat saat mobilnya melaju kencang menembus hutan. Rumah-rumah terlihat jarang, tetangga terdekat mungkin sejauh 1 mil tebaknya. Namun keasrian lingkungan terjaga erat disetiap tanahnya.
Hanya jenis pepohonan yang tetap berdaun pada musim dingin yang terlihat hijau. Semak berduri tumbuh lebat diatas alang-alang yang jarang. Petak kecil salju telah tersebar disana-sini, di atas tanah yang ternaungi pepohonan rindang.
Angin melolong saat bertiup, derit lirih gandar gerobak terdengar nyaring dikejauhan. Tetapi selain itu, suasana diliputi sunyi. Tak akan ada fauna hutan yang keluar, tidak pada musim sedingin ini.
Cahaya matahari kali ini tidak kuat ataupun hangat, tetapi gelap dan tegas. Seolah bercampur dengan bayang malam. Pagi yang rikuh, menimbulkan pikiran-pikiran resah.
Ia memarkirkan mobilnya tepat di depan rumah ayahnya. Bangunan kecil sederhana bercat hijau dan beratap miring. Sejenak, rumahnya terlihat seperti gubuk dalam dongeng. Disertai tanaman rambat yang mengulur masuk setiap celahnya.
Cerobong asap menjulang tinggi, mengeluarkan asap abu-abu pudar. Berbagai tumbuhan terlihat memutari rumah. Sepuh cat telah mengelupas di berbagai tempat. Tepat ditengah, berdiri seorang paruh baya, tangannya mengulur memegang cangkul.
Ia mengenakan caping. Dan dengan paras tegak serta tinggi, dia serupa tonggak kenyataan pagi ini, laksana menara di tengah-tengah arus mimpi. Butir keringat membasahi bajunya dan rambut hitam yang tersisa di antara uban tinggal beberapa. Tetapi ada kegigihan pada dirinya, seolah-olah meski banjir sekalipun kakinya tak akan beranjak dari tempat.
Ia kini membajak tanah tanpa menampakkan perasaan. Sesekali menghirup udara pagi yang segar.
Sentakan rasa bersalah membuat Miko berusaha membuyarkan lamunannya, dia lebih tinggi daripada ayahnya. Mata biru dan nuansa cokelat rambutnya berasal dari ibunya, kata ayah. Dan Miko tak terlalu ingat padanya kecuali senyum yang menyejukkan. Meskipun ia selalu meletakkan bunga di pusaranya setiap tahun.
Miko's Chapter !
"hai, yah" sapaku.
Ayahku, yang sedang berkebun. Memalingkan kepalanya setelah mendengar suara yang sangat dirindukannya.
"Miko, itukah kau?" tanya lelaki itu sembari mendekati.
"Ayah, aku pulang."
Ia segera merangkulku, matanya berkaca-kaca. Rasanya aneh, sudah dua tahun aku tak melihat ayahku. Badanku memang lebih tinggi darinya, ia merangkulku sambil berjinjit.
"Bagaimana kariermu ?"
"lancar." jawabku singkat. Aku berbohong.
"ayo masuk..." ujarnya tersenyum.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Legend of Wars
Pertualangan"Berikan tongkat itu padaku, sekarang." teriak Kata. Tak ada hak untuk hidup, tak ada alasan! "Tunduklah padaku. Lupakan semua ikrarmu. Janjimu!" Kematian berada didepannya, kematian berada ditangannya. Morin menengadah, satu keputusan akhir telah...