The Loyalty

39 4 0
                                    


Han's pov

Hangat sinar mentari, menyisik lembut berkilaukan debu keemasan di pucuk-pucuk udara. Gemerisik hijau rumput berpadu, menghantarkan keberadaan angin. Poplar perak menggemakan pikiranku, kembali menyetir memori takdir yang tak pernah kumaafkan. Sementara waktu senantiasa berjalan, menyambut awal hari.

Tak ada yang tahu, deritaku pagi ini. Tak ada yang mengerti, aku memandang hampa. Matahari tampak bersinar rapuh, memancarkan emosi diri yang tengah melanda diriku. Gelombang amarah tampak pasang-surut di dalam sanubari, seakan berpacu mundur untuk memori kemarin malam.

Kau melanggar janji.

Menjadi petunjuk sakral bahwa aku telah memulai, memulai ritual yang membuat sejarah menjadi buta selama berabad-abad. Hal pemulai dan pengakhir Zaman-Zaman Kelam, yang mencemari sang Daya murni. Penyesalan putusan hidup tak pernah termaafkan, baik diriku bahkan Mereka.

Ketakutan terbesarku telah dimulai.

Bahwa aku, Han, dengan bodohnya merusakkan ikatan keseimbangan, yang mungkin dapat memicu perang Abadi.

Disinilah aku berdiri, menyelubungi waktu, memulai ulang sejarah yang telah tertulis.

Disinilah kami --merusak sejarah-- memutar takdir, memutus pintalan emas roda waktu. Meski salah satu dari kami harus membayar dengan nyawa, karena malam tak dapat diadili.

"Han?"

Oh. Dan aku kembali ke Highgarden, bersama John. Setidaknya, hanya dialah yang mengerti akan diriku. Miko? Aku tak ingin membahasnya sekarang. Masa bodoh dengan Mord, ia masih kesal denganku.

"Mengapa kau tak membunuhnya?"

"Aku tahu apa yang aku percayai dan lihat, sir. Dan ini adalah keputusanku,"

"Bah! Lama-lama kau juga akan tercemar. Lihatlah Cak Tua! Semua kegilaan malam mendesaknya."

"Mord!" aku menggebrak meja, "Tak semuanya, masih ada yang waras di antara mereka."

"Lalu, apa? Kau tak dapat mencegah mereka berubah, bukan?" Ia tersenyum sinis,

"Memang, aku tak dapat Mord."

Aku tersenyum kemenangan, melihat wajahnya yang tampak kebingungan.

"Tapi raja mereka bisa."

Miko...oh Cahaya! Dimanakah engkau gerangan?

"Hmm?" aku menjawab, suaraku masih pecah.

"Membayangkannya?"

"Uh-huh."

"Hei," ia memanggilku. "Dia langsung meninggalkanmu sendiri, tanpa penjelasan. Bahkan orang pedalaman pun harusnya mengerti tata krama."

Pedalaman?
bukankah dia pengikut Miko?

"John, seandainya, aku memang benar-benar melanggar janji. Apa yang kau katakan?"

"Aku? A-apa yang kau maksud? Kukatakan perasaanku, aku merasakan, ia memancarkan Kegelapan dan amarah. Kau tahu, auranya seperti orang mati!"

Aku terkikik mendengar pernyataan jujurnya. Oh, aku benar-benar tergelitik ingin menceritakan semuanya. Andai ia tahu bahwa Miko sebenarnya sang Mawar Perak, penguasa malam sendiri.

"Kau tahu...aku ingin pergi ke seberang perairan, semacam kuil di utara gerbang utama. Kau mau menemaniku?"

"Mengapa? Kau ingin berdoa?"

"Uhh, tidak. Disana hawanya bagus untuk bersantai. Jalan-jalan di pesisir?"

"Baiklah," sorotan matanya menatap tak percaya, seakan-akan berusaha membaca ekspresi di wajahku. Setelah ia tahu aku tak akan mengucap sepatah katapun, John menyerah. Ia perlahan memalingkan muka dariku.

The Legend of WarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang