Makhluk Dongeng

186 11 0
                                    

Banyak yang ingin ia ketahui. Ayahnya benar, lebih banyak lagi yang ia tak ketahui.

"Ayo kebawah, aku memasak sup untuk makan malam."

Tanpa disadari, hari telah beranjak malam. Ternyata bulan purnama telah lewat tepat ditengah angkasa. Tunggu, bagaimana ia dapat mengetahuinya, semua korden tertutup rapat.

Miko mengangguk.

Di rumah ini, sebagian besar ruangan terletak pada satu lantai, rapi tanpa sayap bangunan maupun gudang. Dua kamar tidur dan loteng yang tersembunyi di ruang bawah tanah. Kendati cat hijau sudah memudar dari dinding bata kokoh setelah badai salju. Rumah itu masih terawat rapi, menimbulkan kesan-dihuni yang hampir senyaman dan sehangat api.

Ruang makan terasa hangat dan nyaman. Selain perapian, lemari besar berukirkan daun lebar adalah fitur utama ruangan itu. Rak buku tertata apik disamping pintu, kursi empuk mengitari meja makan. Kursi berkaki tinggi terlihat membentuk sudut terhadap perapian. Disebut sebagai kursi hangatnya, meskipun jarang dipakai oleh ayahnya sejak ibu Miko meninggal.

Disini, orang dapat melupakan hawa dingin di luar pintu. Tak akan ada makhluk berjubah hitam, tak ada perang. Maupun kejadian aneh.

Aroma dari periuk belangga yang tergatung di atas api memenuhi ruangan, membuat perut Miko makin berkeruyuk.

"Sebentar lagi,"

Miko buru-buru menyeka tangan di baskom, rasa hangat menjalar memenuhi dirinya. Ada kendi panas disebelah lemari. Berendam air panas akan mengusir dingin dan dahaga, pikirnya. Tapi itu nanti, setelah ketel besar di dapur dipanaskan.

Dari loteng atas, kamar ayah, terdengar bunyi bergeretak, seperti peti lama yang dibuka. Miko mengerutkan alis. Ayah tidak pernah memindahkan perabot, kecuali memang ingin. Satu-satunya kemungkinan adalah menarik peti tua yang disimpannya di atas lemari di loteng. Satu hal yang tak pernah dilakukannya seumur hidup.

Miko mengisi cangkirnya dengan teh hangat, lalu menata meja. Mangkuk porselen dan sendok merupakan peninggalan ibunya. Daun jendela masih terbuka lebar. Sesekali ia melongokkan kepalanya, tetapi malam telah merayap sepenuhnya, bayang gelap menyelimuti seluruh tempat.

Tidak, makhluk itu tak akan kemari. Jangan.

Pikiran angker selalu menyelimuti pikiran Miko, tetapi ia berusaha melupakannya.

Saat ayah kembali, Miko terpaku. Dipinggangnya terpasang sabuk besar, hitam mengkilap seperti malam. Sebuah belati panjang tersandang rapi di sampingnya. Ayah mengangkatnya, bilahnya bergemerlapan diterpa sinar. Bilah yang lurus dan bermata satu, berukirkan Naga Perak.

Ukiran pada gagangnya begitu mendetail, menjadikannya lebih hidup. Pada sarungnya yang berwarna hitam, juga bertatahkan naga perak. Seekor lagi pada gagangnya.

"Dari mana itu?" Tanyanya. "Ayah membelinya?"

Cahaya api meliuk-liuk disepanjang bilahnya, ketika ayah menghunusnya perlahan. Tak ada permata maupun emas, tetapi ukiran perak tampak mewah baginya. Belati itu tampak rapuh, seolah tak tahan terhadap cemar. Sama sekali berbeda dari yang pernah Miko lihat di toko Antik.

"Ayah sudah lama mendapatkannya." Ia menatap Miko. "Jauh dari sini. Begitu jauh dari dunia ini. Tak berguna lagi untukku sekarang. Waktu itu aku masih muda, masih ahli dalam membidik. Menurutku dua keping emas merupakan bayaran yang sepadan. Menurut ibumu belati tidaklah cocok untuk orang rumahan. Dan kupikir ia benar, mungkin aku harus memberikannya padamu."

Pantulan cahaya membuat bilah belati tampak bersinar. Miko tersentak. "Diberikan? Langsung? Maksudku, bagaimana ayah bisa merelakan belati sebagus itu?". Meskipun heran, wajahnya menyiratkan rasa senang. Sudah lama ia ingin memegang senjata sungguhan.

The Legend of WarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang