The Lord's Temple

175 7 0
                                    

Dengan bantuan Han, entah bagaimana, mereka dapat menemukan sebuah kano untuk menyebrang. Sinar matahari merebak masuk, berkilauan percik-percik air dibawah kapal, membuat suasana lebih nyaman. Ombak bergejolak tenang , menciptakan riak kecil air di sekitar kapal.

Perlahan kano mereka menyeberangi perairan itu. Kabut tebal menutupi jarak pandang mereka. Dermaga menghilang sementara kabut menyelubungi mereka. Sulur-sulurnya melayang melintasi perahu diantara obor yang berkeredep. Tongkat dayung mengayun perlahan dalam arus. Tak ada tanda-tanda bergerak, kecuali dayungan mantap dari para pemuda itu. Tak ada yang berbicara. Kapal beringsut memasuki sungai yang berselimut abu-abu.

Perairan ini jauh lebih luas daripada yang dapat mereka bayangkan; kabut menjadikannya jauh lebih luas dalam bayangan mereka. Sungai yang tak dapat diarungi, direnangi, bahkan dilihat ujungnya sangat meresahkan bagi orang-orang yang belum berpengalaman.

Samar-samar, bayangan pulau berkabut terlihat di depan. Ombak dengan mulusnya menuntun mereka mnedekat; yang membuat Miko merasa aneh. Perlahan, pulau itu tampak jelas wujudnya. Terlihat sebuah bangunan menjulang dengan megahnya, berkilauan diterpa sinar mentari pagi, simbol matahari dan bulan terpahat dengan agungnya di atas bangunan itu. Tempat itu seperti kuil suci, tak dihuni, tetapi terawat dengan baik.

Mereka mendarat landai, kano bergoyang saat tali tambatannya dipasang dan arus kuat menerpanya. Pasir seputih salju menyambut dingin saat mereka turun dari kapal. Tak ada tanda-tanda manusia yang hidup disitu, Tempat ini sepertinya tak pernah tersentuh.

Pintu kayu besar berdiri kokoh di tengah-tengah pulau, engsel-engsel besinya telah rapuh berkarat. Mereka menuju pintu bangunan itu, Miko mendorongnya, pintu itu tak terkunci. Perasaan gelisah bercampur penasaran menyelimutinya, dengan sangat waspada mereka memasuki kuil kuno itu.

Han dengan gerakan sangat santai, tapi mematikan. Menyelipkan tangannya kebawah jubahnya. Miko cepat-cepat meniru pose gerakannya. Dia pasti tertawa andai aku mencobanya.

Mereka mengitari bangunan itu. Kuil tersebut sudah sangat rapuh, tiang-tiang penyangga mulai lapuk dimakan usia. Terdapat air mancur kecil di seberang ruangan. Han menerka-nerka umur bangunan itu,

"Rapi banget.." ucapnya kalem.

Terdapat tumpukan rak berisi buku buku usang dan...kuno. Tersusun rapi disetiap rak. Bangunan ini terlihat unik, bentuk dan ukirannya yang ganjil, terlihat jelas diterpa cahaya matahari. Insting Miko ingin mengambil alih pikirannya, buku-buku itu tampaknya sangat menggoda untuk dibaca. Mungkin lain kali, ia menatap lirih.

Han berjalan pelahan ketengah, tangannya masih menyelip didalam jubah. Matanya masih mengamati langit-langit. Ternyata, ia belum puas dalam menentukan umur bangunan ini.

"Tempat apa ini?" tanya Miko,

"Hanya sebuah kuil sederhana." ucap seseorang dari belakang bahu Han.

Sontak mereka berdua terlonjak kaget, Miko menghunus belatinya. Dan Han, membuatnya membeku terpana, terdapat sebuah belati bermata satu ditangannya. Persis miliknya, ukiran dan ukuran yang sama. Namun bahannya berbeda. Ia tampak tak memperhatikannya,

Sabetan liar yang sangat mematikan

"si..siapa kau?".

"Aku Maya, penjaga kuil ini".

Ia maju selangkah, berkas-berkas mentari menyinari sesosok wanita tua berdiri di ujung lorong, tepat dihadapan mereka. Sangat tua dan mistik, seperti.....jika nenek dari nenek ibunya ibumu masih hidup, bila kau tahu maksudku. Yah, begitulah keadaanya.

"Wow..." ucap Han takjub.

"Ada yang dapat aku bantu?".

Han menyikut bahu Miko, melemparkan tatapan Ini-idemu kepadanya. Miko mendesah,

The Legend of WarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang