14. It is what it is.

1K 159 24
                                    









Tiga hari telah berlalu setelah pertikaian yang terjadi di depan gedung apartemen Sakura pagi itu. Selama tiga hari itu juga, Sasuke berhenti berkunjung ke Akimichi. Sasuke memutuskan menghindari Sakura dengan sengaja tidak menemui gadis itu lagi, tidak mengangkat teleponnya atau sekedar membaca rentetan pesan yang Sakura kirimkan. Sasuke tidak tahu harus bagaimana menanggapi Sakura, jadi ia memutuskan mengabaikan gadis itu saja.

Toh, di pikiran Sasuke, masalah Sakura bukan masalahnya. Dia hanya orang asing yang kebetulan terlibat dengan Sakura. Dirinya, barangkali, tidak memiliki arti sama sekali di mata Sakura--tidak penting. Sasuke lebih baik kembali pada kehidupannya semula. Kehidupan yang damai tanpa drama, kehidupan hitam putih tanpa seorang gadis yang membuat semestanya penuh rona.

Sasuke memutuskan mengabaikan Sakura dan menepikan keberadaan gadis itu sebagai sosok yang tidak penting, dan keputusan itu tidak akan berubah. Bahkan ketika ia menemukan Sakura berdiri di depan pintu kamarnya. Kendati jantungnya berpacu laju menggedor dada, Sasuke menunjukkan sikap acuh tak acuh kepada Sakura.

"Hai," sapa Sakura, sembari menegapkan postur tubuhnya yang sebelum ini menyandar di pintu.

Sasuke membalas sapaan Sakura dengan anggukan kecil yang minim keramahan. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Sasuke kemudian, gestur tubuhnya meneriakkan keengganan.

Saat itu pula, samar-samar, aroma tembakau menjangkau indera penciuman Sasuke. Datang dari Sakura yang masih bertahan dengan senyuman manis di parasnya. "Aku menunggumu," kata Sakura. "Kau tidak berkunjung ke Akimichi lagi, kau juga tidak mengangkat teleponku, jadi aku ke sini."

"Oh..., aku sibuk."

"Kau yakin hanya itu?"

Pertanyaan Sakura memicu kernyitan muncul di dahi Sasuke. "Apa maksudnya?"

"Siapa tau..., kau marah padaku," jawaban Sakura keluar dengan kasual. "Apa kau marah padaku?"

"Aku tidak punya alasan untuk marah padamu."

"Kalau kau tidak marah, kenapa kau menghindariku?"

"Sudah kubilang padamu, aku sibuk!" Sasuke menahan diri untuk tidak meninggikan intonasinya di sana dan membentak Sakura. Sasuke, jujur saja, merasa begitu keki. Sasuke pikir ia bisa menepis eksistensi Sakura sebagai keberadaan yang tak bermakna. Namun, ketika ia melihat gadis itu muncul di hadapannya, segala emosi yang coba ia redam, meluap keluar dan menjalar liar memenuhi dadanya, mengonsumsi kewarasannya.

"Ayolah, Sasuke. Siapa yang mau kau tipu di sini?" Sakura memandang Sasuke dengan tatapan yang mengharapkan pria itu terbuka padanya. "Kau mengabaikanku dengan sengaja, semuanya karena Sasori, kan? Karena dia mengaku pacarku. Tapi situasinya tidak seperti itu."

"Jadi itu alasanmu kemari?" Sasuke membalas tatapan Sakura dengan delik tajam. "Aku tidak mengerti, mengapa kau berpikir aku peduli? Kau bukan siapa-siapaku, Sakura. Aku tidak peduli dengan siapa pun yang kau kencani."

"Kalau kau tidak peduli, kau seharusnya tidak marah. Tapi kau marah, sekarang pun kau marah." Suara Sakura kemudian menjadi rendah. "Aku tidak mau kau marah."

"..."

"Aku tidak mau kau salah berasumsi dan menyakiti hatimu sendiri."

Sakura menyadari, ketika ia melihat kekecewaan mekar di paras Sasuke pagi itu, Sakura tahu keberadaan Sasuke sudah melewati batas dari sekedar teman di hatinya. Sakura menyadari ada bibit-bibit kepedulian mekar di hatinya, rasa untuk ingin menjaga dan melindungi sosok yang di pikirannya sebelum ini, hanya seorang teman dari teman. Sakura menyadari Sasuke sudah tumbuh menjadi sosok yang penting di hatinya, dan karena itu, Sakura tidak mau Sasuke terluka karenanya.

TWISTED NIGHT (SASUSAKU)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang