Bab 16

11 3 1
                                    

.
.
.
.
.
.

Bisakah hidup tanpa memikirkan orang lain? Benarkah bukan kejahatan jika Aster berupaya sendiri untuk hidupnya, memperjuangkan kepentingannya, bahagia untuk dirinya sendiri, dan mengambil keputusan atas dasar kebebasannya sendiri?

Bagi Aster tak semudah itu. Lalu apa memang yang ia inginkan? Aster bahkan tidak tau apa-apa. Kehidupannya hanyalah untuk kepentingan orang lain. Yang paling utama kepentingan Erlangga.

"Kalau kamu nikah sama dia, akan ada banyak hal yang berubah. Bisnis Ayah akan lebih mudah. Citra kita juga akan lebih baik karena nama Anthony di mata masyarakat luar biasa terkenal sangat bisa dipercaya."

Aster hanya bisa mendengarkan tanpa menjawab apapun. Mobil itu terasa begitu sepi. Meski Erlangga tak henti-hentinya mengoceh memuji Anthony, bagi Aster itu hanya kicauan tak penting. Kira-kira bagaimana reaksi Lovelyn ketika tau yang datang adalah dirinya? Mungkinkah dia berontak? Memaki? Atau bahkan diusir?

Entahlah. Lihat saja nanti. Meski rasanya jantung Aster tak bisa berhenti bergetar ketika mobil yang ia naiki masuk ke sebuah rumah mewah malam itu.

Syyuuurrr..

Bulu kuduk Aster meremang ketika mobil berhenti tepat di depan pintu masuk. Bukan. Bukan karena dia hendak berjumpa dengan Lovelyn. Tapi rumah itu memang agak lain.

Deg!

Aura hitam entah mengapa tiba-tiba terlihat menghiasi rumah itu. Penuh, mengelilingi seluruh rumah tanpa terkecuali. Bagai ada suatu kekuatan yang memang melindunginya. Bikin merinding aja. Pikir Aster. Dia turun bersama Erlangga dan langsung disambut hangat oleh Anthony dan Lovelyn yang ternyata sudah menunggu di depan pintu. Dia pasti kaget. Gumam Aster begitu melihat Lovelyn yang memang terlihat heran melihat Aster datang ke rumahnya.

"Loh? Aster?" Tunjuk Lovelyn.

"Uh? Kalian sudah saling kenal?" Tanya Anthony sambil terkekeh bahagia.

"Dia ganggu aku terus di sekolah Pah.." Tuduh Lovelyn yang makin berani aja kalau dipikir-pikir.

Erlangga bahkan belum sempat diperkenalkan oleh Anthony. Tapi melihat reaksi Lovelyn seperti itu, suasana jadi berubah tak mengenakkan.

"Hahahaha.. Kalian sedekat itu ternyata." Ujar Anthony mencairkan supaya tidak terlalu kaku. Erlangga pun melakukan hal yang sama. Hanya Aster yang masih diam dengan tenang. Sudah dia duga akan seperti ini. Lovelyn tak mungkin diam saja. Tadi sore dia sudah menarik garis jelas. Pikir Aster.

"Mari mari masuk!" Ajak Anthony meminta Erlangga mengikutinya.

"Oh.. Iya.. Ini, sedikit.." Erlangga membawa sebuah kantung cantik berisi oleh-oleh pajangan kaca dari Thailand. Bingkisan itu ia pesan khusus sebagai wajah pertamanya untuk membujuk calon besan.

"Duh.. Ngerepotin pake bawa bingkisan segala.." Basa-basi Anthony memang sudah sepatutnya seperti itu. Namun hadiah mewah yang Erlangga sodorkan ia terima dengan senang hati.

"Ah.. Sedikit.." Erlangga mengelak berusaha merendah meski effort untuk membawa hadiah itu memang cukup besar sebenarnya.

"Yuk masuk-masuk. Kita makan malam. Sudah siap di dalam." Ungkap Anthony kembali meminta Erlangga, dan Aster untuk mengikutinya.

Lalu Joe dan Tomi?

Erlangga meminta mereka berjaga-jaga di luar dan dengan sigap langsung menyanggupi.

Mata Aster sempat saling beradu dengan Tomi, namun tak ada perintah apapun. Tomi merasa ada sesuatu yang ingin Aster sampaikan namun entah mengapa dia mengurungkan niatnya.

"Kita gak bisa jaga di dalam?" Tanya Tomi pada Joe.

"Mau ikut makan malam?" Tanya Joe yang seolah menyindir dengan wajah kaku. Itu bukan candaan, tapi batas tegas bahwa Tomi tidak boleh melewati batas.

AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang