Bab 30

12 2 0
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Kalian pacaran?" Tanya Erlangga pagi itu ketika Aster tengah sarapan dengan tenang di meja makan.

"Belum." Jawab Aster jujur.

"Lebih baik pacaran dulu aja. Biar gak di tikung orang." Ucap Erlangga yang bagi Aster adalah sebuah perintah. Mau tak mau harus terjadi. Akan ada di posisi sulit jika Aster tidak melakukannya. Lagi pula, kali ini kehendak Erlangga untuk pertama kalinya membuat Aster bahagia. Bahkan entah mengapa dia mulai memikirkan masa depannya dengan Lovelyn. Pasti akan sangat menyenangkan nanti.

Tak ada jawaban apapun dari Aster mengenai ucapan Erlangga itu. Dia hanya mendengarkan selagi duduk dengan tenang menghabiskan sarapannya.

"Ayah pergi duluan." Erlangga bangkit lalu bergegas pergi dari sana bahkan tanpa melihat wajah sang anak terlebih dahulu.

Ah.. Ini sudah biasa bahkan berlangsung setiap hari. Selalu begitu. Tak ada diskusi dua arah atau hanya sekedar obrolan ringan tentang gimana perasaan Aster hari ini, gimana teman-temannya, atau mungkin pertanyaan tentang perasaannya pada Lovelyn? Aster pasti akan senang membahas itu alih-alih hanya kalimat perintah seperti ini.

Makin lama di pikir, entah mengapa semakin tak nyaman. Seharusnya tak ada perintah seperti ini. Seharusnya ia biarkan saja perasaan Aster pada Lovelyn tumbuh perlahan-lahan tanpa tekanan apapun. Dengan begitupun seperti Aster akan sukarela melakukannya. Ya kan? Kenapa bahkan perasaanya pun serasa dikendalikan? Kenapa harus sampai seperti ini? Gumam Aster dalam hati.

Setelah Erlangga pergi, Aster pun menghentikan makannya. Melempar sembarang pisau roti dan garpu yang sejak tadi ia genggam. Meski masih tersisa banyak, Aster enggan meneruskan. Entah mengapa, setelah bicara dengan Erlangga napsu makannya menghilang. Aster sempat terdiam beberapa saat kemudian memastikan dengan telinganya suara mobil Erlangga yang mulai menjauh.

Oke. Jadian sama Lovelyn kan? Gampang. Pikir Aster masih dengan emosi yang campur aduk. Entah bagaimana cara menjelaskannya. Namun, Aster berkali-kali merasa sesak karena sikap Ayahnya yang selalu saja seperti ini.

"Berangkat Tom.." Ajak Aster yang kemudian bangkit lalu berjalan menuju ke luar. Tomi paham dan sigap mengikuti dari belakang. Kemanapun Aster pergi, Tomi akan selalu di sana. Begitupun kemarin malam yang akhirnya malah harus membayar semua makanan mereka. Meski begitu, Tomi sama sekali tidak keberatan karena memang prosedur pekerjaannya memang seperti itu. Melayani Aster adalah prioritas utama.

"Tom.." Aster berhenti di depan mobil klasik andalannya kemudian menyodorkan tangan untuk meminta kunci.

"Saya aja Mas.." Ungkap Tomi melarang.

"Ayah gak ada. Kamu bebas sampai malam." Aster mencoba lagi. Dia tau betul, ketika pulang makan dengan Lovelyn semalam, Tomi di telepon oleh seseorang dan terlihat sedih setelahnya. Lalu ketika Aster membaca masa depan Tomi melalui matanya, ternyata ibu Tomi akan meninggal seminggu ke depan dan sekarang sedang sakit. Meski tau dengan jelas, Aster enggan memberinya kabar ini. Dia tidak se-tega itu.

"Kenapa Mas?" Tomi merasa ada yang aneh dengan Aster. Tak biasanya dia seperti ini. Ia tentu curiga mengingat Tomi sudah mengenalnya sejak Aster duduk di bangku sekolah dasar.

Mendengar pertanyaan Tomi, Aster malah tersenyum lalu bersandar di badan mobil.

"Udah berapa lama kamu ikut saya?" Tanya Aster pada orang yang lebih tua lumayan jauh darinya itu. Namun mereka sudah terbiasa. Tomi pun bahkan tidak menganggap sikap Aster kurang ajar karena sejak awal dia yang meminta Aster memanggilnya seperti itu.

"Hampir sepuluh tahun Mas." Jawab Tomi.

"Kenapa kamu masih belum menikah?" Aster kembali bertanya. Meski heran dengan pertanyaan tiba-tiba itu, Tomi masih berniat menjawab.

AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang