Bab 34

14 2 0
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

"Apa tidak apa-apa seperti itu Mbah?" Aster mempertanyakan setelah suami istri itu pergi dari sana.

"Apanya?" Tanya Mbah Gun. Namun belum sempat Aster kembali menjelaskan maksud dari pertanyaannya, Mbah Gun terlihat mengerti dan kembali menjelaskan. "Ah.. Jika kepercayaan mereka bisa menyelamatkan sebuah ikatan suci, seharusnya tidak apa-apa." Jawab Mbah Gun sambil tersenyum lebar. Tomi pun yang sejak tadi memperhatikan terlihat ikut tersenyum sekilas. Pantas orang ini begitu dihargai dan di hormati. Mbah Gun juga terlihat begitu menghargai orang lain. Apapun keadaannya.

"Gak selamanya percaya mistis itu jelek kan? Hari ini terbukti malah bisa menyelesaikan masalah suami istri." Kekeh Mbah Gun.

Aster mengangguk paham sambil tersenyum dan sedetik kemudian berubah.

"Maaf kekuatan saya gak berguna tadi.." Aster menyesal untuk hal ini.

"Masih sakit?" Tanya Mbah Gun yang terlihat tau betul apa yang Aster rasakan tadi.

"Mbah.. Saya kenapa?" Alih-alih menjawab pertanyaan Mbah Gun, Aster malah mempertanyakan. Kalau tak salah menduga, Mbah Gun pasti akan tau penyebabnya. Dari sikapnya selama ini, Aster menyimpulkan jika dia bukan hanya sekedar kenalan Ayahnya saja. Ada sesuatu yang aneh tentang dia. Entah sikap tentang sikapnya, maupun sikap ayahnya Erlangga terhadap Mbah Gun. Jika dipikir-pikir memang agak tidak wajar. Namun mereka tak pernah menjelaskan apapun pada Aster. Akhirnya dia hanya bisa menduga-duga.

Pertanyaan dengan raut penuh rasa cemas itu membuat Mbah Gun sedikit tertegun. Ia memandangi lekat-lekat wajah Aster dan kemudian malah kembali menepuk pundaknya beberapa kali.

"Tahan saja. Tetap bertahan." Ujarnya dengan wajah sedih.

"Ada yang saya gak tau Mbah?" Tanya Aster kembali memberanikan diri bertanya.

"Biarkan saja semua berjalan sebagaimana mestinya. Ikuti saja kata hatimu." Mbah Gun lagi-lagi menjawab dengan kata-kata yang tak di pahami.

"Gimana maksudnya Mbah? Tolong jelaskan." Aster kini memohon. Siapa lagi yang bisa menjelaskan soal ini. Ayahnya bahkan hanya tau tentang manfaat dari kekuatan yang dia punya. Aster buntu.

"Mbah tadi tanya, kamu sedang jatuh cinta kan?" Mbah Gun kembali mempertanyakan. Aster sempat tertegun namun kemudian mengangguk seolah meminta penjelasan lebih lanjut. "Cinta itu tentang rasa sakit." Lanjut Mbah Gun. Masih tak paham, Aster menatap Mbah Gun berharap penjelasan yang lebih detil lagi.

"Orang-orang seperti kamu, ketika jatuh cinta, artinya menyerahkan hati kamu seluruhnya untuk dia. Kekuatan yang kamu miliki, berpengaruh besar terhadap siapa yang kamu pilih untuk dicintai. Dan dia akan mengikatnya erat-erat." Mbah Gun menjelaskan perlahan. "Dan ketika ada penolakan, artinya kehancuran hati dimulai.." Mbah Gun menunjuk jantung Aster dengan raut cemas. "Nak, rasa itu tidak bisa kita usahakan karena Tuhan sendiri yang kasih. Harusnya Mbah lebih awal memberitahukan ini." Mbah Gun terlihat menyesal sekarang. Sepertinya belakangan Mbah Gun sering meminta Aster untuk sering mengunjungi padepokan juga untuk ini.

"Rasa sakit ini gara-gara dia?" Aster tak percaya mendengarnya. Benarkah?

"Ya. Setiap kali wanita yang kamu pilih itu memikirkan orang lain, atau mungkin bersama orang lain, hati kamu akan merasakannya." Jelas Mbah Gun terlihat yakin.

"Mbah gak lagi bodoh-bodohi saya kan?" Ya. Bukankah Aster baru saja melihat Mbah Gun menipu orang lain di depan matanya?

"Silahkan cek up ke rumah sakit kalau tidak percaya." Jawabnya. "Kamu akan dinyatakan sehat oleh tenaga medis. Balik lagi ke sini kalau omongan Mbah benar." Dia lagi-lagi menepuk bahu Aster kemudian kali ini benar-benar bangkit. "Mbah ada urusan lagi Mas," Pamitnya terlihat bergegas. "Jaga dia.." Titahnya pada Tomi yang langsung mengangguk paham. Mbah Gun terlihat layaknya seorang kakek yang sangat menyayangi cucunya sekarang.

Aster terdiam setelah kepergian Mbah Gun. Cukup lama namun Tomi enggan mengganggu. Ada banyak rangkuman yang ia simpulkan dari sikap dan ucapan Mbah Gun selama ini. Semua ia kumpulkan dalam otak hingga membuatnya bahkan tak memikirkan untuk bergerak sama sekali. Meski belum terpecahkan semua, tapi setidaknya Aster harus memastikan satu hal ini.

Ya.

Jika sikap Lovelyn menentukan rasa sakitnya, dia harus membuktikannya sendiri. Pikir Aster.

"Mobil udah datang?" Tanya Aster.

"Sudah Mas.." Jawab Tomi setelah menunggu Aster terdiam cukup lama.

"Cari tau dimana Lovelyn." Titahnya yang kemudian bergegas pergi dari sana. Tomi hanya bisa mengangguk lalu mengikuti dari belakang. Mau protes karena hari sudah mulai gelap pun, rasanya tak pantas. Tomi padahal masih khawatir mengingat keadaan Aster hari itu tidak baik-baik saja sejak bertemu tadi. Beberapa kali Aster kembali terlihat kesakitan. Dan lagi, bukankah jika sudah muntah darah sebegitu hebatnya kayak tadi, seharusnya sekarang dia sedang di infus?

Tapi memangnya apa yang bisa Tomi lakukan? Dia hanya harus mematuhi perintahnya tanpa terkecuali. Tak hanya berdalih dalam naungan profesionalitas. Tomi hanya terlalu menyayanginya bahkan sampai-sampai tak enak hati jika ada perintah Aster yang tak ia ikuti. Terlebih, selama mengikutinya, Aster tak pernah meminta macam-macam bahkan terbilang jarang. Jika harus menolak atau membantah, rasanya kurang ajar.

"Dimana?" Tanya Aster ketika mereka sudah masuk ke dalam lift.

"Sebentar Mas," Tomi masih belum memastikan karena orang-orang yang ia hubungi belum sempat membalas pesannya. Kali ini cukup kelabakan dan tak enak hati karena membuat Aster menunggu terlalu lama. Dia kembali mengirimi beberapa orang termasuk Bagas untuk mempercepat proses pencarian. Gak enak kalau memimbiarkan Aster menunggu lagi.

Ting..

Berbarengan dengan pintu lift, sebuah pesan masuk di ponsel Tomi.

"Di CIT Mas.." Ungkapnya langsung setelah membaca pesan itu.

Ah.. Selarut ini masih di sana? Pikir Aster.

"Kunci!" Pinta Aster sambil mengulurkan tangan pada Tomi ketika langkah mereka sampai tak jauh dari mobil yang dimaksud.

"Saya aja Mas.." Tomi tentu saja tak akan membiarkan Aster membawa mobil sendiri. Apalagi begitu mendengar nama tempat yang ia sebut, Aster terlihat marah. Dia benar-benar enggan membantah sebenarnya. Tapi ini benar-benar membuatnya tak tenang. Tomi memberanikan diri untuk menyembunyikan kunci mobil itu di belakang punggungnya. Ia harap ini bukan termasuk pembangkangan.

Aster menatap tajam ke arahnya. Namun sedetik kemudian menyerah lalu berbalik untuk membuka pintu penumpang di samping kemudi. Dia menyerah. Tomi lega karena masih bisa menjaganya kali ini. Mereka bergegas pergi ke tempat itu.

~

Tak ada percakapan apapun selama perjalanan. Membutuhkan waktu yang cukup lama  untuk sampai di CIT. Aster tak protes meski waktu mereka sampai terasa lama sebab jarak yang memang jauh. Tapi bisa apa memangnya? Dan lagi, mau protes bagaimana? Toh sekarang, dia makin terlihat payah karena serasa ada yang kembali melilit dan meremas jantungnya tanpa belas kasihan.

Keringat dingin sejak duduk di mobil sudah mengucur deras meski AC mobil full. Aster beberapa kali meringis kesakitan. Dan yang lebih jahatnya lagi, ketika rasa sakit itu makin menyiksa, entah akibat sugesti dari penjelasan Mbah Gun, atau memang alasan lainnya. Pikiran Aster mulai menduga-duga sekarang. Bahkan dalam bayangannya, Lovelyn kini sedang bermesraan dengan pacaranya di sebuah bioskop yang kosong dengan sebuah kotak popcorn besar di pangkuan Lovelyn. Sial.

Aster bahkan bisa melihat setelan outfit berwarna biru itu mereka kenakan dengan matching. Argh.. Sakit sekali..

"Ke rumah sakit aja Mas?" Tomi masih menawarkan barang kali Aster berubah pikiran. Namun ia malah menggeleng di tengah-tengah rasa sakit yang makin menggila.

"Gak! Lebih cepat Tom." Titah Aster yang malah terdengar seperti permohonan.

"Baik Mas.."

Jika benar apa yang Mbah Gun katakan, bisakah Aster sebut ini kejahatan?

Padahal aku sudah se-tulus ini tapi dia malah se-parah itu? Tapi benar. Perasaan memang dari Tuhan. Aku pun gak bisa mempertanyakan. Hanya saja.. Kenapa hanya aku yang harus menanggungnya sendiri? Rasa sakit ini..
Rasa menyiksa ini..
Juga rasa sepi ini, benar-benar harus aku sendirian?
Aster~

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang