Bab 2

32 5 0
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Seorang pria malang tengah duduk dikerubungi teman-temannya yang makin ribut menyuruhnya membuka ikan sarden dalam kaleng yang ia pegangi. Kantin siang itu ricuh riuh tak terkendali. Aster juga ada di dalam kumpulan itu dan hanya duduk tenang selagi melipat kedua tangannya di dada. Pandangannya menyeringai ke arah pria berwajah polos itu yang masih berat hati membuka kaleng sarden yang sejak tadi ia genggam.

"Anj*** Ter! Bantuin gue kali!" Sergah pria itu tiba-tiba.

Oh? Malang? Polos? Ralat! Pria bernama Evan itu sama sekali tidak mencerminkan semua itu. Justru dia paling bar-bar diantara semuanya.

"Dih.. Lu yang tadi nantang Aster main Shadow fight Van! Elu juga yang bawa kaleng sarden ke sekolah. Jan malu-maluin deh Van, lu kalah! Makan! Cepetan!"  Seorang pria tambun menimpali dan memojokkan Evan hingga teman-teman lain ikut-ikutan juga pada akhirnya.

"Makan Van.. Makan..!"

"Cemen lu!" Celetuk beberapa diantara mereka.

Melihat Evan yang masih juga berlama-lama, Aster tiba-tiba bangkit hingga membuat semua orang terkesiap. Tiba-tiba sepi senyap bahkan tak ada yang berani bergerak. Mungkin bernapas pun tidak.

"Gak usah Van. Kasih kucing aja." Ujar Aster pelan kemudian memasukkan kedua tangannya di saku celana sebelum benar-benar melangkah pergi dari sana.

"Wooaaah Gue kira bakal di gaplok.." Ujar Evan yang malah langsung pergi mengikuti Aster meninggalkan mereka yang hanya bisa menelan kecewa karena tak jadi melihat Evan menderita karena memakan ikan sarden dingin itu.

"Ter!" Evan berlari menyusul Aster yang ternyata sudah menyusuri koridor kelas. "Beneran gue gak usah makan ini?" Evan kembali memastikan dengan kekehan kecil.

Mendengar pertanyaan Evan yang terkesan ngeselin, Aster menghentikan langkahnya lalu merebut kaleng sarden itu dari tangan Evan.

Crkk..

Masih dengan wajah berbinar dan senyuman yang mengembang, Aster tiba-tiba membuka kaleng sarden itu.

"Ah.. Gak! Enggak Ter.. Gue becanda.." Evan tau jika Aster sebenarnya tidak sebaik itu. Ini sebabnya ketika Aster bergerak di kantin tadi, semua orang senyap seolah benar-benar takut dengan apa yang akan Aster lakukan. Padahal wajahnya selalu ramah bahkan senyuman sempurnanya akan membuat semua yang memandanginya pertama kali mungkin akan langsung jatuh cinta. Tapi hati-hati. Ada banyak wajah yang Aster sembunyikan dibalik senyuman itu.

"Kemana lu?" Tanya Aster ketika melihat Evan mulai menjauh. "Sini!" Telunjuknya mulai bergerak meminta Evan kembali mendekat ke arahnya.

"ASTER!!" Evan bahkan menjerit karena benar-benar enggan memakannya. Namun si empunya nama mana peduli. Dia hanya memandangi Evan seolah kembali memberi perintah supaya kembali mendekatinya. "Gob**lok lu!" Sergah Evan yang nyatanya sama sekali tidak berpengaruh apapun untuk Aster.

Evan terpaksa mendekat meski masih ragu untuk meraih kaleng sarden yang sudah Aster buka tadi.

Memangnya apa yang salah? Bukankah ikan sarden itu enak?

Ueeekk..

Tidak dengan Evan. Dia benar-benar phobia dengan ikan dalam kaleng itu. Menghirup baunya saja hampir membuatnya muntah. Apalagi memakannya. Evan benar-benar sial hari itu.

Tapi, kesialannya tentu bukan tanpa alasan karena memang ulahnya sendiri. Tadinya Evan hanya ingin Aster ikut dalam club futsal bersama dirinya sebab Aster selalu hebat dalam segala hal. Clubnya sedang membutuhkan seorang pemain yang bisa diandalkan untuk kompetisi mendatang. Tapi alih-alih mendapatkan kemauannya, Evan malah kalah taruhan dan harus memakan hukumannya sendiri.

"Gue ikut futsal kalau lu makan ini." Ujar Aster lagi-lagi dengan suara tenang.

"Gue pegang omongan lu yah!" Evan sedikit bersemangat dengan tawarannya kali ini. Dia bahkan langsung mengambil kaleng sarden itu dari tangan Aster.

Beberapa orang mulai berdatangan lagi. Didit si cowok tambun yang tadi di kantin pun kembali bergabung. Mereka menyemangati Evan yang kini terlihat hendak memakannya.

"Woaaah.. Yok bisa Van.. Bisa..!" Teriaknya sambil bertepuk tangan.

Satu.. Dua.. Tiga.. Hap..

Ueeekkkkk...

Evan kembali memuntahkannya lagi ke dalam pot bunga besar yang tak jauh dari sana.

"Gak bisa Van?" Tanya Aster masih dengan senyuman tipis.

Melihat senyuman hinaan itu, Evan engga menyerah. Dia mencobanya kembali untuk suapan kedua. Namun lagi-lagi..

Ueekkkkk.. Ueekkkkk...

Aster menghela napasnya kemudian mengambil kembali kaleng sarden itu dan membuangnya ke tanah. Parahnya, Evan masih juga belum berhenti muntah-muntah.

"Van.. Lu anj***ing! Ngapain juga si bawa sarden segala!" Aster mulai khawatir dengan temannya itu. Ia bahkan mengusap-usap punggung Evan berharap perutnya membaik. "Dit! Didit! Bawa minum!" Titah Aster pada temannya yang lain.

"Argggh.. Sakit tenggorokan gue.. Perih.." Keluh Evan yang sudah seluruhnya memuntahkan isi perut.

"Lu makan apa si! Bau bangke!" Keluh Aster.

"Woy woy woy lah! Lu apain Evan lu?!" Tiba-tiba seorang cewek berambut hitam panjang mendorong Aster menjauh dari Evan.

Lah? Sape nih?

Heran, ini pertama kalinya Aster melihat cewek ini padahal dia sudah setahun lebih sekolah di sana. Apa mungkin murid baru? Dia sudah lolos tes darah? Pikir Aster yang lalu melihat dengan seksama pakaian Utopia High School yang cewek itu pakai. Ah.. Mungkinkah murid pindahan? Gumam Aster lagi.

"Oliiiinnn.... Gue dibully.. hiks hiks.." Evan sengaja mengadu pada cewek yang baru datang itu berusaha terlihat menyedihkan. Mereka saling kenal? Aster kian mengerut karena tak paham dengan situasi ini.

"Lu jejelin dia sarden?!" Sentak cewek bernama Lovelyn itu kembali mendorong bahu Aster. Disentak dan diperlakukan seperti itu, sama sekali tak membuat Aster menciut. Dia justru makin memperhatikan setiap gerik Lovelyn bahkan membaca dengan teliti name tag di dadanya.

Lovelyn Jovanka.

Oh.. Namanya cantik. Gumam Aster.

Tuk!

"Jawab gak lu?!" Lovelyn dengan berani menunjuk-nunjuk jidat Aster hingga membuat Evan dan yang lain panik bukan main.

Ah.. Dia berani? Aster tentu tak terima. Baru kali ini ada cewek petantang petenteng didepannya bahkan berani menyentuh kepalanya meski dengan tubuh sekecil itu?

Aster mulai mendidih meski masih diam terpaku tanpa membalas kata-katanya.

"Heh! Kenapa diem aja lu?!" Lovelyn masih menyalak dan menunjuk-nunjuk meski Evan mulai menahan dan memintanya untuk berhenti. Didit yang kembali dengan sebotol minum pun ikut menyingkirkan tangan Lovelyn yang dengan berani menunjuk-nunjuk Aster.

"Heh! Bisu lu?! Apa si? Lu bilang di bully kan tadi?" Lovelyn masih berteriak-teriak bahkan mempertanyakan kenapa Evan kini berusaha menghalanginya karena takut Aster meledak.

"Engga.. Gue bercanda Lyn.. Becanda.." Evan bahkan lupa dengan rasa mulanya tadi. Ayolah, sebelum Aster menggila, seharusnya Olyn bisa mendengarkannya atau minimal tubuh besar Didit berguna dan bisa menggusurnya pergi dari sini.

Ey.. Tapi kenapa si Olyn tenaganya kuat banget si? Pikir Evan yang memang tak bergerak sama sekali meski sudah meminta Olyn menjauh dari Aster.

"Minggir!!" Sentak Aster tiba-tiba. Kali ini dia terlihat sudah menggenggam selang air dan bersiap untuk menembakkannya ke arah Olyn.

"Uh.. oh.. Gak.. Gak Ter!! Tunggu!!" Evan malah berlindung dibalik tubuh kecil Olyn dan..

Byurrr...

Aster menyirami mereka tanpa ampun. Semua orang berhamburan kesana kemari menghindari semprotan Aster. Olyn tentu saja yang terparah. Siapa suruh noyor kepala orang sembarangan. Ya kan?

.
.
.
.
.
.

AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang