Bab 33

16 3 0
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Sampai di apartemen depan padepokan, Aster masuk dengan langkah pasti bersama Tomi sudah tau persis arahnya kemana. Benar saja. Di depan pagar padepokan tadi memang ada beberapa orang sedang menunggu. Aster terlihat sudah bergganti baju menggunakan pakaian serba hitam lengkap dengan hoodie. Lagi-lagi Aster tak tau dimana Tomi mendapatkannya. Dia memang selalu bisa diandalkan.

"Ini Mas.." Tunjuk Tomi di depan sebuah pintu hitam setelah naik lift menuju lantai ketiga apartemen kecil itu. Aster sempat menghela napas panjang kemudian hendak meraih gagang pintu.

Eh.. Tapi tunggu. Ada yang Aster lupakan mengenai Tomi. Ini sudah satu Minggu sejak Aster melihat masa depannya waktu itu. Apakabar dengan ibunya?

"Tom..?"

"Ya Mas?"

"Ibu kamu baik-baik saja?" Tanya Aster. Mendengar pertanyaan Aster, entah mengapa Tomi berubah sendu. Dia bahkan menunduk semakin dalam. Kemungkinan matanya mulai memanas saat itu. Tubuh tingginya tak lagi bisa menahan getaran dalam dadanya.

Setelah berusaha menguasai diri, Tomi kembali mengangkat wajahnya hendak menjelaskan dengan tegar. "Waktu Mas nyuruh saya pulang seminggu yang lalu, saya temani ibu saya di rumah. Tapi malamnya dia meninggal di pangkuan saya Mas.."

Deg!

"Mas pasti sudah tau tentang ini. Makannya Mas nyuruh saya pulang waktu itu." Lanjutnya kembali menunduk sendu.

Masa depan yang Aster lihat berubah. Kemungkinan karena Aster meminta Tomi segera menemuinya. Mungkin para malaikat pencabut nyawa itu memang menunggu kedatangan Tomi saat itu. Atau bisa jadi ini permintaan ibu Tomi pada yang Maha Kuasa. Entahlah.. Aster tak bisa pastikan.

"Kenapa gak bilang saya Tom?" Aster tak terima karena baru mengetahui kabar ini.

"Saya kira ini masalah pribadi saya Mas. Tidak ada hubungannya dengan pekerjaan." Jawab Tomi tegas namun sangat kentara, dia berusaha menahannya. Tomi bahkan sudah berpikir dia bisa mengendalikan perasaannya seperti semula lagi. Tapi memang terbuat dari apa hatinya itu? Kenapa harus selalu berpura-pura padahal sebegitu rapuhnya?Aster benar-benar muak. Kenapa selalu saja seperti ini? Dia sama saja seperti Ayahnya.

"Kamu anggap saya apa?" Aster masih tak terima. Bahkan jawaban Tomi membuatnya makin kesal. Reaksi Aster tentu membuat Tomi terguncang. Padahal dia hanya ingin menunjukkan jika dirinya baik-baik saja sekarang.

"Maaf Mas.." Tomi hanya bisa menunduk tanpa bisa menimpali atau sekedar menjelaskan. Sekilas ia melihat Aster sepertinya benar-benar kecewa. Ia bahkan tak lagi bicara dan melanjutkan kembali langkahnya untuk masuk ke dalam apartemen itu lagi.

Apalagi memangnya? Dibahas pun hanya akan membuat semakin tak nyaman. Sudahlah..

Cklek..

"Nak.." Begitu Aster masuk, ternyata sudah ada Mbah Gun yang tengah menunggu bersama dua orang lainnya di sana. Mereka murid padepokan silat Mbah Gun. Aster sempat bertemu dengan mereka sebelumnya. Begitu melihat Aster datang bersama Tomi, keduanya terlihat bangkit dari sofa, hendak beranjak pergi.

"Gak! Duduk aja." Pinta Aster pada mereka. Aster memilih ikut duduk bersama di sofa panjang itu. Sedangkan Tomi, tentu sigap berdiri tegap tak jauh dari Aster. "Gimana Mbah?" Tanya Aster begitu duduk tak jauh dari Mbah Gun.

"Sesuai tebakkan Mbah, dia bawa-bawa padepokan sekarang. Bisa lihat, di depan sana setiap hari selalu ada banyak orang yang menunggu. Mereka tanya ini itu tentang Agam. Padahal Mbah pun gak tau banyak sebenarnya. Padepokan makin terpojok sekarang. Ada banyak kabar buruk tentang padepokan. Mereka bilang padepokan sesat, padepokan santet, sihir, bahkan beberapa pejabat mulai berdatangan untuk meminta bantuan." Mbah Gun mulai menjelaskan.

AsterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang