🍅Semanis, selembut, dan sekuat buah sawo (tiga) 🍅

25 6 0
                                    

"Judul lagu multimedia : Linkin Park - Iridescent, piano version"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Judul lagu multimedia : Linkin Park - Iridescent, piano version".
🍅🍅🍅🍅🍅🍅🍅

Do you feel cold and lost in desperation?
You build up hope, but failure's all you've known
Remember all the sadness and frustration
And let it go
Let it go....

-Linkin Park : Iridescent-

🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵

Malam harinya keluargaku dan tim hukum mengadakan pertemuan terakhir, persiapan sebelum sidang besok di rumah sakit. Aku minta ikut dilibatkan. Dan setelah mendengarkan semua saran dari para pengacara yang mewakili kami, aku pun memberanikan diri menyuarakan isi pikiranku.

"Ada yang harus kusampaikan di forum ini, serta tanpa mengurangi rasa hormat, ini bukanlah permintaan" ucapku tegas.

Duduk di ujung kiri meja. Kami semua tengah berkumpul di ruang meja makan kamar rawat inapku.

"Baiklah sayang, katakan saja kami semua akan mendengarkan, lagipula ini memang kasusmu" kata ayah yang mengambil kursi di samping kananku.

Berdeham, sambil berusaha menatap lurus wajah satu persatu orang didalam ruangan ini aku mengungkapkan pernyataanku terkait hukuman Kehzan. Sontak semua orang terkejut, hampir-kecuali Mas Kangga, entah mengapa dia seperti sudah menduga aku bakal melakukan hal seperti ini.

Belum selesai bicara Mas Kandra sudah berdiri lebih dulu, jelas merasa marah serta tampak emosional.

"Kandra, duduk" kata ibu tegas. Di depan semua orang. "Adikmu belum selesai bicara".

"Justru itu masalahnya, Bu. Apa adek nggak tahu semua yang sudah kita persiapkan adalah untuk dirinya! Segala perjuangan ini supaya bajingan itu kalau bisa membusuk selamanya dalam penjara" Mas Kandra meledak. Sambil berkacak pinggang berjalan menjauh.

"Itu sebabnya kamu harus duduk dan ikut mendengarkan! Biarkan adikmu menyelesaikan ucapannya. Lagipula jika ada yang paling ingin melihat lelaki sialan itu menderita, bukan kita atau ayah, ibu. Melainkan Kansa! Dialah korban sesungguhnya!" Mas Kangga sampai berdiri. Nadanya meninggi dan dia terlihat galak sekali.

Di detik itu juga aku mau menangis. Betapa tidak, selama ini aku mengira keluargaku sulit memahami diriku namun nyatanya, sekarang kakak sulungku juga ikut berjuang supaya suaraku bisa didengarkan.

Mas Kangga melirikku sesaat, memberiku isyarat lewat mata kalau semua akan baik-baik saja.

Dan begitulah. Mas Kandra meski masih sangat kesal akhirnya mendengarkan ucapan ibu serta kakak sulungnya . Kembali ke tempatnya lantas aku kembali menyuarakan keinginanku.

"Jadi begitulah. Apa permintaanku barusan bisa dilakukan?" aku bertanya pada para pengacara senior di hadapanku dengan penuh santun.

Keempat lelaki memakai setelan seragam, serba biru tersebut saling melirik satu sama lain, mereka seakan-akan berbicara melalui batin. Kemudian kepala tim berpaling padaku, menyuarakan isi pikiran mereka semua.

"Kami rasa itu bisa sangat terjadi, terlebih kita sudah mendapatkan barang bukti kuat yang legal serta teruji keabsahannya. Nanti tinggal bagaimana prosedurnya ke kedutaan saja. Namun saya rasa segalanya dapat diatur" terlihat meyakinkan.

Aku mendesah lega. Sementara ayah mengelus lembut lenganku, menatapku khawatir sambil berkata.

"Apa kamu benar-benar yakin atas keputusanmu ini? Ingat Kansa, sekali kita mengajukannya ke depan Hakim, maka sudah nggak bisa ditarik lagi" mata lelah ayah memancarkan kecemasan.

Tidak hanya melihat kepada ayahku, aku memberikan jawaban kepada semua orang di ruangan ini. "Tolong percaya saja sama Kansa, seperti kata Mas Kangga, nggak ada orang yang sangat ingin menghukum Kehzan Negara seberat-beratnya selain Kansa sendiri. Kansa tahu persis seperti apa dirinya, bagaimana cara serta pola berpikirnya. Jadi yakin saja, apa yang Kansa katakan dan minta barusan sudah melewati pemikiran sangat matang. Semua orang di tempat ini pasti sangat ingin melihatnya menderita dan sengsara bukan atas apa yang ia perbuat padaku? Maka satu-satunya cara yang bisa membikin Kehzan merana hingga akhir hayat adalah, ini " aku mengucapkannya dengan tegas tanpa keraguan sedikitpun.

Tim kuasa hukum kami menganggukkan kepala, terlihat paham. Ayah mendesah pendek. "Baiklah kalau keputusanmu sudah bulat, kami hanya bisa mendukungmu sepenuhnya".

Beliau berusaha ikhlas dan percaya padaku, aku tahu sangat tidak gampang baginya dan aku merasa begitu berterima kasih karena ini.

Lalu setelah mengantar para pengacara, aku bergegas menemui Mas Kandra yang memilih menenangkan diri di depan kamar rawat inapku.

Berlari menghambur ke arahnya sambil meminta maaf, membuat kakak keduaku terkejut.

"Maaf, karena Mas Kandra pasti merasa semua usaha dan kerja kerasnya beberapa hari ini jadi sia-sia. Dan terima kasih sebab sudah berjuang sekeras ini untukku. Tapi percayalah, mas. Kansa punya alasan kuat. Sekarang mungkin sulit dipahami, namun nanti akan mengerti".

Satu tarikan nafas dalam lolos dari mulutnya. "Baiklah aku paham. Kalau kamu sudah membuat keputusan bahkan bersikeras, aku bisa apa?".

Mendongak. Menatapnya senang. "Jadi mas sudah nggak marah kan?".

"Aku mana bisa marah sama kamu lama-lama" sambil mencubit lembut pangkal hidungku.

Aku berpura-pura kesakitan, namun kami berdua langsung tertawa.

Mas Kandra balas memelukku, kali ini sambil mengelus lembut rambut bagian belakang kepalaku.

"Maaf ya Kansa, kalau selama ini kamu merasa seperti bertarung seorang diri. Mas bukannya nggak peka atau peduli sama kamu, tapi justru sebaliknya. Dulu, setiap teringat bagaimana kondisimu yang kacau berantakan setiap kali berusaha mengingat kejadian sebelum kecelakaan, membuat mas hancur. Mas sangat takut kalau nanti suatu saat kehilangan kamu juga. Bagi kami berdua, baik kamu atau Kanta sama berharganya, sama-sama luar biasanya. Jadi maaf, kalau kamu pikir kami nggak menyayangimu".

Suara kakakku sarat akan emosi juga penyesalan. Namun Kandra tetaplah Kandra, dia berusaha mati-matian terdengar atau terlihat keren.

"Udah mas, nggak usah drama, biasa aja" mencubit dadanya lalu mendongakkan kepala.

Wajah Mas Kandra memerah sesaat kemudian mengacak-acak kepalaku. "Kamu tuh ya, nggak bisa diajak dramatis dikit. Ya udah, ayo masuk, besok kamu tetep harus bangun pagi meskipun nggak ke gedung pengadilan"

Ini kenapa semua laki-laki disekitarku bisa janjian mengucapkan hal serupa. Namun aku menurutinya. Kami berdua masuk ke dalam kamar perawatan dengan dia merangkul erat pundakku.

Malam itu, semua anggota keluargaku memutuskan tidur di kamarku. Ayah sampai meminta ranjang tambahan agar Mas Kangga bisa tidur disana, sedangkan ayah satu kasur dengan ibu. Mas Kandra memilih sofa sebagai tempat istirahat.

Untuk pertama kali sejak berhari-hari lamanya aku tertidur lelap sambil bermimpi.

Dalam mimpiku tersebut, aku dan seluruh keluarga sedang bertamasya di sebuah pantai berpasir putih yang sangat indah, ada Kanta juga disana. Kami membangun istana pasir serta mengumpulkan kerang. Lalu, ada beberapa sosok lain juga, aku tidak terlalu jelas, namun yang jelas dalam mimpi tersebut, ada dua orang anak lelaki sepertinya lebih tua dariku dan Kanta. Seperti sangat familiar namun aku tak bisa mengingat siapa.

Yang jelas kami semua bermain bersama, tertawa lepas dan sangat bahagia di dalam mimpiku tersebut. Kemudian, ada satu adegan dari bunga tidur yang entah mengapa, membuatku merasa yakin ini seperti campuran dari potongan memori asing  di masa lampau, namun memang pernah ada.

Yaitu momen ketika salah satu anak lelaki dengan wajah tidak jelas tersebut memberiku sebuah permen bersalut kacang sambil berkata.

"Ini ambillah. Kita impas ya".

🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵🍵


[COMPLETED]AFTER ENDING (#02. Sekuel After Work)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang