Bab 4. Tanpa Nafkah Batin

182 8 0
                                    

"Mas kamu lagi sibuk?" tanya Alana seraya menghampiri suaminya.

"Tidak, kenapa memangnya?" Walau berkata tidak tetapi pria itu tidak mau menjauhkan ponselnya dan tetap saja menatap ponsel itu dibandingkan Alana seakan menunjukkan kalau dia masih sibuk dengan ponselnya.

"Kamu tidak mau lihat aku!" Pinta Alana.

Mendengar itu Rafli pun segera menoleh dan menatap Alana dengan datar. Alana menampilkan senyum tipis seperti biasa sehingga bibirnya terlihat begitu cerah dari biasanya nampaknya dia sedikit menghias diri malam ini.

"Apa? Nih, aku sudah lihat kamu." Seketika senyum Alana sedikit memudar rupanya sang suami sama sekali tidak menyadari perubahannya, atau mungkin memang wajahnya tidak cantik.

"Ada yang mau aku bicarakan padamu, Mas."

"Mau bahas apa? Uang lagi, bukankah tadi siang sudah aku transfer." 

"Bukan itu."

"Lalu?" Alana melihat tatapan suaminya yang tidak sabaran itu.

"Tadi Ibu kamu datang ke sini, lalu dia menyarankan kita untuk cek kesuburan, Mas." Alana bicara dengan pelan.

Rafli terdiam sejenak lalu mengalihkan pandangannya kepada Alana. Sementara Alana nampak gugup karena membahas soal ini, dia selalu takut kalau Rafli akan marah.

"Lalu kamu bilang apa?"

"Ya, aku iyakan saja Mas, supaya Ibu tidak terlalu membahas ke arah sana."

"Kita ini sehat, tidak ada yang bermasalah. Kamu tau sendiri sebab kita belum punya anak, ya karena aku yang tidak pernah menyentuhmu."

Nyut!

Terlalu jujur juga sangat menyakitkan, Alana merasa sakit di dadanya karena faktanya selama satu tahun menikah dia tidak pernah mendapatkan nafkah batin dari suaminya. Tidak banyak yang tau dan Alana pun lebih memilih menyembunyikan itu semua.

"Lalu, kapan kamu mau menyentuhku, Mas? Sudah satu tahun aku menantikannya." Alana menatap dengan sendu, malam ini dia memberanikan diri untuk menanyakan itu. Bukankah sudah haknya mendapat nafkah batin dari suaminya.

"Aku belum siap soal itu, bukankah sejak awal aku sudah bilang padamu. Aku akan bertahan di pernikahan ini tetapi kamu harus terima jika aku belum mau menyentuh kamu."

"Ya, aku ingat Mas. Tetapi, sampai kapan kamu tidak siap? Apa aku tidak menarik dimatamu, Mas?" Mata Alana sudah berkaca seakan melampiaskan gundukan amarah dihatinya yang dia pendam selama ini.

"Bukan soal menarik atau tidaknya, aku bisa saja melakukannya tanpa memikirkan aku tertarik padamu atau tidak yang terpenting nafsuku tersalurkan. Namun, Alana aku tidak ingin melakukannya tanpa cinta, aku hanya ingin melakukannya jika aku sudah mencintaimu, tetapi sepertinya mustahil."

Alana bungkam dia tidak tau harus berkata apa lagi, hatinya seakan ditusuk sembilu. Selama ini dia berusaha untuk tidak memikirkan soal itu dan selalu tetap berpikir sehat supaya tidak punya keinginan untuk melakukannya. Namun, mendengar kenyataan jika suaminya belum juga mencintainya rasanya begitu sakit sekali.

Alana bangkit dari duduknya, rasa sakit di dada membuatnya tak sanggup untuk berada di samping Rafli, setiap melihat wajahnya perasaan cintanya semakin dalam tapi bisa mengakibatkan rasa sakit dihatinya semakin besar apalagi kalau sudah mendengar perkataan dinginnya.

"Ibu bilang dia ingin segera punya cucu, kalau dia membahas soal ini lagi. Tolong kamu saja yang jelaskan, Mas. Aku tidak mau membuat perasaannya sedih." Alana kemudian berbalik melangkah menuju kamar mandi.

"Jangan dijadikan beban, dan jangan berharap lebih soal pernikahan ini. Kelak, aku tidak yakin bisa terus menjalani semua ini. Jadi, tidak perlu ada anak."

Alana menutup mulut dengan tangannya menahan isak tangisnya, lalu ditutupnya pintu kamar mandi dengan pelan. Dia bahkan tak bisa marah saat ini hanya bisa mengasihani diri sendiri, bahwasanya Rafli begitu tidak menginginkannya sampai dia berpikir kelak akan mengakhirinya padahal, Alana ingin pernikahan ini awet sampai tua nanti.

Setelah berada di sana barulah Alana melampiaskan kesedihannya menangis sejadi-jadinya tentunya tanpa bersuara, berusaha untuk setegar mungkin, namun kenyataannya dia tidak bisa seperti itu.

Cintanya masih bertepuk sebelah tangan, dan sabarnya, baktinya kepada sang suami selama ini tidak bisa meluluhkannya. Hati Rafli sekeras batu sehingga sulit sekali dia menerobosnya untuk bisa masuk ke dalam sana.

Ulu hatinya terasa berdenyut sampai Alana memukul dadanya menarik nafas dengan dalam lalu membuangnya. Sesakit ini menangis tanpa suara, tetapi dia pun tidak berani jika harus menangis dengan bersuara dan akan terdengar oleh suaminya.

"Ya Allah, begitu berat menjalani semua ini. Berikan aku kekuatan, jadikan aku istri yang sholehah dan tetap berbakti kepada suamiku walau pun aku tidak pernah di cintai dan dianggap ada," gumam Alana dengan pelan lalu dia pun duduk seraya bersandar di pintu kamar mandi dan menenggelamkan wajahnya di sana. Perlu waktu sendiri untuk menenangkan dirinya dia tidak boleh menunjukkan kelemahannya di depan Rafli.

Sudah ada sekitar lima belas menit berada di kamar mandi, Alana pun segera mencuci muka, dan kenyataannya matanya masih sembab pastinya Rafli akan menyadari jika dia sudah menangis. Namun, jika tetap di sini yang ada Rafli malah akan terheran walau pun dia tidak yakin jika akan ditanya.

Setelah mengumpulkan niat akhirnya Alana membuka pintu, dan rupanya suaminya sudah terbaring di sana, sepertinya sudah tertidur sehingga dia merasa sedikit tenang karena Rafli tidak akan melihat mata sembabnya. Alana memutuskan untuk keluar dari kamar, dia perlu minum untuk merilekskan pikirannya.

"Kenapa lama sekali?" Tanya Rafli sehingga Alana menghentikan langkah kakinya.

"Kamu tidak mau melihatku!" Lanjutnya, Alana masih berdiam diri seraya membelakanginya.

Rasanya tidak siap untuk berbalik dan menampilkan wajahnya yang pastinya begitu berantakan.

"Aku mau mengambil air minum, tidur duluan saja." Begitu kata Alana.

"Aku lapar, tetapi aku tidak mau makan nasi. Tolong buatkan aku mie instan!" Begitu katanya.

Alana menghela nafas sejenak, "Baik Mas, aku akan buatkan." Tanpa mau berbalik Alana buru-buru untuk keluar dari kamar. Tatapan Rafli tampak berbeda namun dia kembali mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

***

Rafli memutuskan untuk mendekati ruang makan, dan rupanya Alana tengah berjalan menuju ke arahnya tetapi kemudian menghentikan langkah. Tatapan mata Alana yang sembab membuat Rafli merasa aneh, karena dia tidak pernah melihat Alana seperti ini.

"Aku pikir kamu mau makan di kamar, makannya mau aku antar," ucap Alana sembari menunjukkan mangkok berisi mie yang dia bawa.

"Di sini saja!"

Alana mengangguk, "Ya sudah." Dia berbalik dan meletakkan mangkuk itu di meja. Kemudian Rafli menarik kursi dan duduk di sana.

"Kalau begitu, aku mau izin tidur duluan."

"Tunggu!" Alana tidak jadi melangkah.

"Apa kamu habis menangis?" Alana yang ditanya seperti itu justru malah kembali sedih.

"Tidak." Sambil menggelengkan kepalanya.

"Matamu sembab, kamu tidak bisa membohongiku." Rafli masih menatap Alana dengan tajam sampai akhirnya Alana tidak bisa menyembunyikannya lagi.

"Ya, aku habis menangis itu karena ... "

"Jalani saja tidak usah kamu terlalu dalami perasaanmu padaku, karena hanya akan membuatmu terluka. Gini-gini aku paling tidak tega kalau ada wanita menangis." Potong Rafli.

"Maaf Mas, sejak awal aku sudah memikirkan soal ini bahkan ketika tau kamu tidak bisa menerimaku sebagai istrimu. Tapi, aku tidak pernah menyalahkan takdir, kini kamu adalah suamiku, dan harus aku cintai serta patuhi tanpa peduli apakah kamu mencintaiku atau tidak, biarkan saja rasa ini tumbuh sendirian."

Alana kemudian melangkah pergi menuju kamarnya, terlihat begitu tenang dengan apa yang baru saja dia katakan. Sedangkan Rafli, masih diam dan perlahan menatap Alana yang kini tubuhnya semakin menjauh.

Rahasia Dibalik Senyum IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang