Bab 17. Tetap Bertahan

201 20 4
                                    

Alana pikir, Rafli akan menyusul ke kamarnya untuk menanyakan keadaannya, karena ia yakin Rafli melihatnya mimisan tadi. Namun, ternyata ia salah, pria itu kini sudah pergi bahkan tanpa pamit terlebih dahulu.

Ia paham, Rafli mungkin masih marah, tetapi apakah tidak ada sedikit pun rasa kasihan padanya. Seketika denyutan di dadanya semakin terasa, mau ia menangis, terluka bahkan mati pun sepertinya tidak akan membuat Rafli peduli.

Alana mengambil ponselnya, mengingat perkataan Rafli tadi ia kepikiran dengan Ibu mertua yang katanya menunggu cukup lama di sini .

"Hallo, Bu. Tadi kata Mas Rafli, Ibu mampir ke rumah, maaf ya, sudah buat Ibu menunggu," ucap Alana dengan perasaan bersalah.

"Tidak apa, Nak. Ibu hubungi Rafli bukan mempermasalahkan kamu tidak ada di rumah, Ibu khawatir saja, kenapa kamu tidak ada di rumah dan ponselmu juga tidak bisa di hubungi? Kamu baik-baik saja 'kan?"

"Aku baik-baik saja, Bu. Ini sudah sampai di rumah, oh ya, biar aku yang ke rumah Ibu saja, ya."

"Tidak usah, Nak. Nanti lain waktu Ibu ke sana lagi, tadi itu sebenarnya tidak sengaja mampir, kebetulan lewat habis dari pasar." Alana merasa bersalah.

"Sekali lagi aku minta maaf ya, Bu."

"Iya tidak apa, kalau begitu sudah dulu, ya. Ibu lagi ada tamu, assalamualaikum."

"Baik, Bu. Waalaikumsalam."
Panggilan berakhir, Alana menyimpan kembali ponselnya. Apakah sampai di sini ia sudah merasa tenang? Tentu saja tidak, karena kesalah pahaman belum selesai, Alana kembali mengetuk nomor Ilham dan segera mengirimkannya pesan.

Sementara itu, Rafli sudah berada di kantornya, moodnya terlihat buruk sampai-sampai mengetik laptop pun dengan cepat dan sedikit kasar. Pikirannya kembali pada kejadian tadi, saat tidak sengaja menepis Alana, dan membuatnya sampai berdarah.

"Sebenarnya dia kenapa? Kenapa aku jadi kepikiran, apa darah yang di tisu pun darah mimisan? Berarti sudah dua kali dia seperti itu."

"Argh, apa yang aku pikirkan, tidak penting juga. Yang penting dia berdarah bukan karena ulahku." Rafli kembali fokus dengan kerjaannya.

***

Alana bangkit dari duduknya, ketika mendengar ketukan pintu, dengan segera ia membukanya. "Mas, kamu sudah pul..." Rafli berjalan melewatinya begitu saja.

Alana hanya bisa bersabar, dan kembali menutup pintu, suaminya sudah masuk kamar sekarang. Sedangkan Alana mengurungkan niatnya untuk menyusul, ia akan membiarkan Rafli bersih-bersih dahulu, setelah itu ia akan menyusulnya.

Setelah hampir tiga puluh menit duduk di ruang tamu, Rafli ternyata tidak keluar juga, Alana berpikir mungkin suaminya telah tidur, sehingga ia memutuskan untuk menyusul ke kamar.

Ketika sudah masuk ke kamar, ternyata suaminya belum tertidur, tetapi sedang sibuk dengan ponselnya.

"Mas?" Alana memberanikan diri untuk memanggilnya lebih dulu.

"Padahal aku tidak mendorongmu dengan keras tadi, kenapa bisa sampai berdarah?" tanyanya dengan datar tanpa sedikit pun kekhawatiran.

Sebenarnya ini adalah pertanyaan yang sejak tadi ingin dia tanyakan, hanya saja malu kalau harus memulai duluan.

"Aku juga tidak tau," jawab Alana singkat tanpa ingin bertatapan dengan suaminya.

"Apa kamu baik-baik saja?" Pertanyaan itu cukup membuatnya tertarik. Alana menatap Rafli dengan kosong.

"Aku baik-baik saja, Mas," jawab Alana dengan pelan.

Rafli memutus kontak mata, dan kembali sibuk dengan ponselnya.

Rahasia Dibalik Senyum IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang