Bab 21. Keturunan

140 8 6
                                    


"Kita jadi ke rumah Ibu?" tanya Alana. Setelah tadi saling diam kini akhirnya ia yang memulai kembali.

Rafli yang sudah duduk di sampingnya menjawab. "Ya, apa ada yang ingin kamu beli? Kita tidak mungkin ke sana dengan tangan kosong."

"Aku terserah kamu, Mas."

"Kenapa harus terserah? Itu Ibumu, mana tau aku kesukaan dia itu apa." Nada Rafli seperti membentak, padahal memang wataknya seperti itu selalu bicara dengan nada tinggi.

"Baiklah, kita beli buah-buahan saja, Mas." Jawab Alana. Malas berdebat lagi.

Rafli segera menyalakan mobil dan melajukannya. Alana masih menunduk dan tidak berani berkata lagi.

Perjalanan dipenuhi dengan keheningan, karena keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Mereka sempat berhenti di tempat jual buah-buahan pinggir jalan, setelah itu kembali melaju untuk menuju tempat tujuan.

"Ingat! Jangan bicara apa pun soal rumah tangga kita!" Tegas Rafli setelah sampai.

"Iya, Mas." Jawab Alana yang kini keluar lebih dulu dari mobil.

Tok!
Tok!
Tok!

"Assalamualaikum!"

Alana mengetuk pintu dengan pelan, dia sudah memasang wajah cerianya untuk menghadap sang Ibu.

"Waalaikumsalam, Alana?" ucap sang Ibu setelah membuka pintu. "Eh, Nak Rafli juga ke sini." Lanjutnya setelah melihat Rafli muncul di belakang Alana.

Rafli segera mencium tangan Ibu mertuanya. "Maaf Bu, Rafli baru sempat ke sini."

"Ah tidak apa, ayo masuk!" Seraya menggiring mereka untuk masuk. Alana ikut tersenyum melihat Ibunya yang tampak ceria.

"Kenapa tidak bilang dulu mau ke sini, tau begitu Ibu tadi masak yang enak," lanjutnya setelah mereka bertiga duduk.

"Kami tadi habis belanja bulanan, Bu, jadi sekalian mampir," timpal Alana.

"Wah, romantis sekali pasutri ini, belanja bulanan bersama. Senang Ibu mendengarnya." Alana hanya membalas dengan senyum begitu juga Rafli.

"Oh ya, mau minum apa? Biar Ibu buatkan."

"Biar Alana saja yang buatkan, Bu." Alana sudah beranjak dari duduknya.

"Ya sudah, kalau mau kopi ada di lemari, kalau mau yang dingin bisa pilih di kulkas!"

"Siap, Bu. Mas, aku ke dapur dulu, ya!" Rafli mengangguk.

Kini tinggallah ia berdua dengan sang mertua, sebenarnya ada sedikit rasa canggung apalagi jarang sekali bertemu jadi wajar kalau terasa masih seperti orang asing.

"Nak, Rafli sudah lama Ibu mengharap kamu datang ke sini, kamu kedengarannya sibuk terus, ya."

"Iya, Bu. Banyak sekali kerjaan, makannya tidak bisa ke sini. Jadi tidak enak sama Ibu."

"Tidak apa kok, Alana selalu menjelaskan setiap kamu tidak datang, jadi Ibu juga memaklumi, cuma saran Ibu, sebaiknya di atur waktunya, jangan terlalu capek apalagi 'kan kalian lagi promil."

"Terimakasih sarannya, Bu. Maunya sih begitu, cuma susah kalau harus fokus ke salah satunya, karena kerjaan juga 'kan penting." Entah mengapa Rafli tidak nyaman dengan pembahasan seputar promil. Secara dia tidak pernah melakukan promil apa pun selama ini, mungkin ini Alasan yang di pakai Alana untuk menjaga hati Ibunya.

"Ya sudah, yang penting kamu selalu jaga kesehatannya, ya. Tidak apa, Ibu paham kok, ini cuma perihal waktu, nanti juga kalau tiba waktunya bakal di kasih." Seraya tersenyum.

Rahasia Dibalik Senyum IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang