Bab 3. Bertahan Karena Warisan

185 6 0
                                    

"Besok tidak usah kamu antar makanan lagi, minimal seminggu tiga kali saja jangan tiap hari!" ucap Rafli setelah selesai menyantap makanannya. Alana mulai berpikir bahwa suaminya memang sudah sangat bosan memakan bekal yang dia bawa.

"Iya Mas, mulai dari sekarang aku tidak akan antar makanan setiap hari. Maaf ya, Mas kalau itu buat kamu risih." Alana sedang membereskan bekas makan suaminya, disusun kembali ke rantang miliknya.

"Bukan aku risih tapi ... ah sudahlah, aku malas menjelaskan. Aku sibuk, jangan kamu pasang wajah sedih seperti itu, toh aku hanya membatasi bukan berarti melarang untuk memberiku bekal."

"Iya, Mas maaf." Alana menunduk.

Justru, ada alasan kenapa dia ingin mengantarkan makanan setiap hari. Tetapi, Rafli tidak perlu tau itu karena mungkin tidak penting juga untuknya.

"Sudah, sekarang kamu pulang! Sebentar lagi aku mulai bekerja!" Perintahnya dengan nada dingin.

"Baik Mas, aku pulang dulu ya, yang semangat kamu kerjanya!" ucap Alana dia tetap harus berpamitan dahulu.

"Hmmm." Hanya di jawab begitu tanpa ingin melihat wajah Alana, dan Rafli sudah sibuk dengan ponselnya kembali, bahkan ketika tangannya bersiap untuk mencium tangan suaminya pria itu tidak menggubrisnya. Sehingga Alana harus menarik kembali tangannya, sikap dingin dari pria yang dia cintai tidak pernah membuatnya menyerah. Baginya Rafli adalah segalanya, pria satu-satunya yang akan dia cintai bahkan sampai dia mati.

Sedingin apa pun sikapmu, tidak akan mengurangi rasa cintaku padamu. Semoga akan ada cinta yang tumbuh di hatimu untukku. Batin Alana.

Serasa masih ada yang mengganjal dihatinya, Alana pun menghentikan langkahnya, dan kembali berbalik. Walau dia tau suaminya tidak akan menatapnya lagi karena lebih memilih fokus menatap ponsel, tetapi dia tetap ingin mengatakannya.

"Mas, aku lupa mau mengatakan sesuatu padamu." Rafli langsung mengalihkan pandangannya.

"Mau mengatakan apa?" Nada Rafli terdengar malas.

"Tadi ... "

Drrrt! Drrrt! Drrrt! 

Panggilan masuk memotong pembicaraannya. Rafli memberikan isyarat tangan untuk meminta Alana diam dulu. Sehingga Alana kembali menutup mulutnya dengan rapat.

"Ya, Hallo!" Rafli sudah beranjak dari duduknya dan sedikit menjauh untuk mengangkat panggilan. Sepertinya itu adalah orang penting, terdengar dari cara bicara Rafli yang sopan dan sangat berhati-hati. Alana rasa ini bukanlah waktu yang tepat untuk membahas itu. Cukup lama menunggu, dan rupanya Rafli masih sibuk mengobrol dengan orang tersebut, hingga Alana pun memutuskan untuk pulang saja.

"Mas, nanti di rumah saja bicaranya." Tetapi tidak ditanggapi dan justru Rafli malah makin fokus dengan obrolan di sambungan teleponnya. Merasa terabaikan akhirnya tanpa berkata apa pun lagi Alana meraih handle pintu lalu membukanya, sempat menoleh lagi namun Rafli tetap membelakanginya dia pun akhirnya keluar meninggalkan ruangan suaminya.

Alana menghela nafas sejenak, lalu berusaha untuk menampilkan senyumnya. Dia berjalan cukup pelan dengan perasaan sedih karena sang suami tengah sibuk dengan seseorang di sambungan teleponnya sehingga dia pulang pun tanpa diketahuinya. Tidak ada cium tangan, bahkan diantar sampai depan, tetapi sekali lagi dia selalu menerima apa pun sikap Rafli padanya.

Bruk!

"Argh!"

"Eh, maaf Bu aku tidak sengaja." Alana yang tadi berjalan menunduk segera menatap wanita yang menabrak tubuhnya. Terasa sedikit sakit karena wanita itu menabraknya dengan keras. Dan ternyata wanita itu adalah Laras sekretaris suaminya, mata Alana langsung menajam setiap kali melihat Laras.

"Kamu kenapa, kok terlihat buru-buru sampai menabrak saya?" Tanya Alana dengan penasaran. Entah suatu kesengajaan atau memang tidak disengaja.

"Sebentar lagi jam kerja, Bu. Takutnya Pak Rafli mengomeli saya makannya saya buru-buru kembali." Wanita itu masih menundukkan kepala merasa bersalah dengan apa yang sudah dia lakukan barusan.

Alana sudah mendengar penjelasan dari suaminya dan dia tidak mau terlalu berburuk sangka. Dia harus percaya bahwa Laras dan suaminya itu hanya sebatas atasan dan bawahan saja.

"Oh begitu, ya sudah kamu segera kembali ke tempat kerjamu! Lain kali kalau jalan hati-hati!"

"Baik, Bu. Sekali lagi aku minta maaf, permisi!" Lalu Laras pun meninggalkan Alana. Diam-diam Alana berbalik dan mengamati gerak-gerik Laras saat berjalan menuju ruangan suaminya.

Laras terlihat jauh lebih cantik dibandingkan dirinya padahal Laras lebih tua usianya tetapi wajahnya sangat awet muda dan enak untuk dipandang. Sedangkan dirinya, setiap hari berat badan semakin turun dan soal wajah pun jangan ditanyakan lagi tentu jauh berbeda dengan Laras, secara wanita itu adalah wanita karir dan dirinya hanya wanita rumahan yang bahkan jarang sekali perawatan ke salon karena memang tidak ada waktu untuk melakukan hal itu.

Bersyukur ketika Rafli masih bertahan sampai detik ini dengannya. Padahal di sekelilingnya banyak sekali gadis yang tentunya lebih cantik darinya. Tetapi, tentu saja ketakutan itu ada takut jika suatu saat Rafli akan berpaling ke lain hati.

"Ya Allah apa yang sudah aku pikirkan, tidak mungkin Mas Rafli selingkuh. Buktinya apa yang dia katakan tadi itu benar, kalau memang tidak mau lagi denganku tidak mungkin pernikahan kami sampai sejauh ini." Alana menepis segala pikiran buruknya dan memilih untuk segera pulang. Didalam sebuah pernikahan perlu adanya saling percaya, dan dia harus tetap menanamkan itu supaya rumah tangganya jauh dari badai prahara.

Sementara itu, Rafli tengah duduk sembari menatap laptopnya seketika dia teringat soal Alana yang sudah tidak ada di ruangannya. Tanpa berpamitan Alana pergi begitu saja, biasanya Alana akan menunggunya selesai teleponan, namun kali ini malah sebaliknya.

Selama ini Rafli terlalu berhati-hati untuk bersikap, walau pun sikap dingin itu tidak pernah bisa di ubah. Tetapi, sebisa mungkin dia tetap memperlakukan Alana dengan baik termasuk menghargai segala makanan yang Alana berikan untuknya.

"Ingat! Kamu adalah kepala keluarga, kamu bertanggung jawab atas kebahagiaan istrimu."

"Bagaimana kalau aku tidak bisa memberikan kebahagiaan untuk Alana? Ayah, aku benar-benar tidak mencintainya."

"Rafli, cinta itu akan tumbuh dengan sendirinya. Dulu, Ayah dan Ibumu juga begitu, tetapi kami akhirnya saling mencintai, dan menghadirkanmu ke dunia ini. Alana itu adalah wanita yang baik bahkan kamu tidak akan menemukan dia di wanita mana pun!"

"Aku sudah dewasa aku bisa memilih jalanku sendiri, tolong biarkan aku mengakhiri pernikahan kami, aku sudah tidak bisa berpura-pura baik-baik saja seakan menerima pernikahan paksaan ini." Rafli tampak frustasi.

"Berani kamu ceraikan Alana, maka seluruh harta warisan tidak akan Ayah berikan padamu!"

Itu adalah perkataan sang Ayah ketika selesai mempersunting Alana, dan sampai saat ini menjadi sebuah ancaman untuknya. Ia adalah anak satu-satunya tentu tidak mau jika tidak mendapatkan harta warisan, itulah mengapa ia masih mempertahankan pernikahan ini semua demi warisannya.

Rahasia Dibalik Senyum IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang