Bab 7. Menyembunyikan Luka

167 10 0
                                    

Rafli kembali ke mobil untuk mengambil kunci rumah, karena sudah ada tiga kali mengetuk pintu sama sekali tidak di buka, untungnya ia juga memegang kuncinya. Dengan sedikit terburu-buru Rafli segera membuka pintunya, tetapi keadaan rumah masih gelap gulita Rafli sampai mendengus kesal.

"Alana?" Panggil Rafli sedikit berteriak. Tetapi tidak ada yang menyahut. Rafli menyalakan flash ponselnya untuk mencari saklar lampu, setelah lampu menyala situasi rumah benar-benar sepi, sama sekali tidak ada pergerakan.

Ini membuatnya merasa sangat aneh, tidak biasanya Alana sampai membiarkan ruangan dibiarkan gelap seperti ini. Rafli tidak tinggal diam dengan sedikit emosi ia segera menuju kamarnya, Rafli berpikir mungkin Alana ketiduran sampai lupa menyalakan lampu.

Ceklek!

Begitu pintu terbuka ternyata tidak ada tanda-tanda keberadaan Alana, sampai Rafli terheran lantas kemana Alana jika tidak berada di kamarnya. Rafli mengambil ponsel dari sakunya segera ia hubungi Alana, namun tidak di angkat padahal berdering. 

"Dimana wanita itu?" Rafli bergumam dengan kesal. Mencoba lagi tetap saja tidak di angkat, Rafli melempar ponselnya ke atas ranjang. Ia berniat untuk membersihkan tubuhnya terlebih dahulu sebelum nanti lanjut mencari Alana. Di sini Rafli masih berpikir bahwa Alana mungkin saja sedang pergi ke luar dan memang berniat pulang malam, tetapi ia juga sedikit merasa kesal karena Alana tidak izin terlebih dahulu biasanya selalu izin jika mau pergi.

Setelah selesai mandi, ternyata Alana belum juga pulang sementara perut Rafli sudah keroncongan karena lapar, ia menuju meja makan, dan membuka tudung saji yang ternyata tidak ada makanan satu pun, Rafli makin kesal ia menggebrak meja itu dengan cukup keras.

"Apa dia sengaja tidak menyiapkan makan malam, dasar istri tidak berguna," gumamnya karena terlanjur kesal.

Rafli tidak berniat lagi untuk makan, tiba-tiba saja rasa lapar hilang dengan sendirinya. Ia duduk di ruang tamu sambil mencoba menghubungi Alana lagi, bahkan ia juga mengirim beberapa pesan menanyakan keberadaan Alana, namun tetap saja tidak ada balasan.

Rafli kembali menyimpan ponselnya bahkan ini sudah mau jam delapan malam bisa-bisanya Alana masih berkeliaran di luar. Rafli memejamkan mata sejenak sambil bersandar di sofanya tiba-tiba saja ia teringat dengan perkataan Alana tadi pagi. Rafli berpikir jika Alana mungkin sedang pergi ke rumah Ibunya, ia pun kembali beranjak dari sofanya, tanpa pikir panjang Rafli kembali ke kamar untuk mengganti pakaian, setelah itu ia akan menyusul Alana sekarang juga.

Baru ingin menuruni anak tangga, ia dikejutkan dengan kemunculan Alana yang kini sedang menaiki anak tangga sedangkan ia berdiam diri di tempat sampai akhirnya Alana sudah mendekat ke arahnya.

Rafli menatap Alana dengan tajam sehingga membuat wanita itu diam di tempat, karena menyadari akan tatapan kemarahan dari suaminya itu.

"Darimana kamu, jam segini baru pulang?" tanya Rafli dengan nada membentak. Rafli pikir setelah bertemu emosinya akan sedikit mereda nyatanya malah membludak.

Alana masih bungkam hanya diam sambil menatapnya seakan berpura-pura tuli. 

"Alana, jawab pertanyaanku!" Bentaknya lagi.

"Dari rumah Ibu." Akhirnya Alana menjawab dengan nada yang cukup tenang. Ia bahkan berjalan melewati Rafli sengaja untuk menghindarinya.

"Jangan bilang kamu habis mengadu sama Ibumu?" Masih dengan posisi saling membelakangi.

Langkah Alana terhenti, ia tidak suka jika Rafli sudah berpikir seperti itu. Selama ini ia telah berusaha menyembunyikan segala permasalahan yang ada, dan ia pastikan sampai kapan pun pihak orang tua tidak boleh ada yang tau. 

"Makannya kamu ikut, supaya tidak ada pikiran seperti itu di kepalamu," balas Alana lagi-lagi bicara dengan tenang tidak menunjukkan kemarahan sama sekali.

Rafli hendak membalas perkataannya tetapi Alana sudah berlalu menuju kamarnya, wanita itu mengakhiri pembicaraan sepihak, sedangkan Rafli masih berdiri di tempat. Tidak biasanya Alana seperti ini, ia merasa bukan seperti sedang berbicara dengan Alana yang ia kenal, karena terlihat wanita itu sengaja menghindar untuk ia interogasi lebih lanjut.

Rafli melanjutkan untuk menuruni anak tangga membiarkan waktu untuk Alana untuk sendiri dahulu. Memikirkan sikap Alana hanya akan membuatnya emosi, mungkin saat ini ia butuh secangkir kopi untuk menenangkan hati.

Begitu sampai di ruang makan, ternyata ada rantang susun di sana. Padahal tadi tidak ada yang artinya Alana yang sudah meletakkannya di sana, rasanya tidak mungkin jika tidak ada isinya. Karena penasaran segera ia membukanya yang ternyata benar bahwa di dalamnya ada nasi serta lauk pauknya. Rafli tidak menyangka bahwa Alana pulang membawa makanan, artinya Alana memang masih peduli padanya. Tanpa berpikir panjang ia segera mengambil piring lalu menyantap makanannya.

Setelah di rasa sudah kenyang Rafli mengakhirinya tak lupa membereskan kembali ke tempatnya. Setelah perut kenyang sedikit membuat emosinya mereda, ia memang tidak bisa menahan emosi jika perut sedang dalam keadaan kosong di tambah lagi dengan Alana yang tidak ada di rumah tadi, tetapi sekarang ia sedikit merasa lebih baik.

Sebatang rokok sudah hampir habis, tetapi Alana tidak juga menyusulnya ke ruang makan. Ini membuat Rafli jadi kepikiran, ia pikir Alana akan menemuinya lagi ternyata tidak. Rafli menyimpan puntung rokok yang sudah pendek itu, rasanya tidak tenang jika belum melihat Alana bersikap seperti biasanya.

Setelah masuk kamar ternyata Alana sudah terbaring dengan posisi meringkuk seperti janin, seketika Rafli terdiam. Biasanya wanita itu akan mengajaknya mengobrol terlebih dahulu sebelum tidur, ya walau pun ia selalu membalas dengan singkat karena tidak mau terlalu memanjang. Kali ini rasanya ada yang aneh karena Alana tiba-tiba meninggalkannya tidur lebih dulu.

Rafli menutup pintu kembali lalu ikut naik ke ranjangnya, posisi Alana masih membelakanginya Rafli berpikir mungkin Alana sudah pergi ke alam mimpinya. Ia hanya bisa melihat punggung Alana, sampai akhirnya berniat untuk menyentuh lengannya tetapi, terhenti bahkan belum sempat menyentuh. Rafli menarik kembali tangannya ia memutuskan ikut berbaring di samping Alana.

Mungkin dia memang sedang datang bulan makannya bersikap seperti ini, di tambah aku bertanya seperti itu tadi sehingga membuat moodnya memburuk, batin Rafli.

Saat perut lapar memang tidak bisa mengontrol emosinya, salahnya ia bertanya seperti itu tadi harusnya bertanya dengan baik-baik, beginilah jadinya Alana malah malas bicara dengannya. Rafli pun membiarkan Alana tidur dan ia juga membaringkan tubuhnya sambil menatap ke atap rumahnya.

Sementara itu tanpa Rafli ketahui, Alana membuka matanya terlihat butiran bening jatuh dari sudut matanya. Rupanya Alana belum sepenuhnya tertidur, ia hanya ingin menghindari untuk berbicara dengan Rafli. Sebenarnya ada yang ingin ia tanyakan namun untuk saat ini ia masih merasa begitu marah, takutnya malah menjadi pertengkaran hebat nantinya. Jadi menunda adalah pilihan terbaik supaya tetap baik-baik saja, walau sebenarnya ini sedikit mengganggu pikirannya.

***
Guys jangan lupa mampir di novelku, Asmara dalam Dendam, bantu ramaikan dan vote ya 🙏

Rahasia Dibalik Senyum IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang