Bab 19. Hinaan Fisik

160 18 7
                                    

Setelah selesai membersihkan pecahan guci itu, Alana lanjut membersihkan yang lainnya. Sedangkan sejak tadi suaminya belum keluar kamar lagi, ia pun tidak mau tau dan tetap fokus dengan pekerjaannya.

Sementara itu, di kamar Rafli tengah bersandar di ranjangnya sambil menatap ponselnya, dia terlihat sedang bermain game, sekedar untuk menghilangkan kekesalannya, namun ternyata itu tidak mempan di letakannya ponsel itu kembali.

"Astaga, kenapa rasanya aku begitu kesal hari ini?" gumamnya seraya memijat pelipisnya yang terasa pening, belum lagi perut yang mulai keroncongan, mungkin karena tadi tidak sarapan akhirnya kelaparan, setelah lihat jam dinding ternyata sudah jam sebelas siang pantas terasa lapar karena sudah waktunya untuk makan siang juga.

Karena tidak bisa menahan rasa lapar, ia pun memutuskan untuk pergi ke meja makan, berharap Alana sudah menyiapkan makanan di sana.
Setelah keluar kamar, terlihat Alana yang kini sedang mengepel lantai, bahkan Alana sempat berhenti dan menatapnya, tetapi dengan cuek Rafli tetap melewatinya menuju meja makan.

Sesuai ekspetasi di sana sudah ada beberapa macam makanan, tanpa pikir panjang Rafli segera duduk, menuangkan makanan ke piringnya lalu melahapnya. Alana yang melihat itu segera mendekat.

"Kopinya mana?" tanya Rafli.

"Sebentar, Mas. Aku buatkan dulu!" Alana tentu bersemangat ketika suaminya mau bicara lagi, walau pun hanya menyuruhnya membuatkan kopi.

Rafli pura-pura sibuk dengan makanannya, padahal sesekali dia melirik ke arah Alana, memperhatikannya yang sedang membuat kopi. Bayangan kedekatannya dengan pria itu membuatnya merasa aneh, Rafli berpikir mungkin saja keduanya pernah menjalin hubungan, tidak mungkin jika hanya sebatas teman saja.

Ketika Alana sudah kembali, Rafli segera mengalihkan pandangannya lagi.

"Ini, Mas kopinya!" Sambil tersenyum tipis.

Rafli sendiri tidak mengucapkan terimakasih atau semacamnya, hanya menerimanya dan kembali sibuk dengan makanannya.

Kamu memang tidak pernah bisa di tebak ya, Mas. Kadang baik, kadang cuek, tetapi sepertinya kebanyakan cueknya. Batin Alana.

"Kamu tidak sarapan?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Rafli. Alana berpikir mungkin suaminya sekarang sedang memberinya sebuah perhatian sampai bertanya seperti itu.

"Aku cuma tanya, tidak usah berpikir terlalu jauh."

Alana mengangguk, ya tentu saja apa yang dia pikirkan bahwa ini sebuah perhatian adalah salah besar.

"Aku nanti saja, Mas. Masih ada kerjaan lain."

"Kerjaan 'kan bisa nanti lagi, sekarang kamu makan dulu!" Tegas Rafli.

Alana pun menarik kursi lalu duduk di hadapan suaminya, mengambil sedikit nasi juga lauk pauknya, baru mau menyantap Rafli sudah kembali bicara.

"Hanya setengah nasinya?"

"Iya, Mas. Soalnya aku sedang tidak nafsu makan."

"Pantas tubuhmu kurus, makannya saja porsi anak kecil." Alana sampai tidak jadi menyantap makanannya.

"Kamu itu harus makan yang banyak. Kalau makin kurus tidak enak juga dilihatnya." Lanjut Rafli seraya menatapnya dengan dingin.

Alana menarik nafas dengan dalam, Rafli kembali menghina fisiknya, dan sedikit sakit juga mendengarnya. Tetapi, ia pun tidak bisa menyalahkan, karena memang tubuhnya ini kurus, walau tidak kurus kering tetapi mungkin di mata Rafli sangat tidak sesuai dengan kriterianya.

"Aku makan sedikit atau banyak juga tidak akan mempengaruhi, Mas. Tetap saja akan kurus." Alana kini sudah menyantap makanannya, giliran Rafli yang berhenti mengunyah.

"Memangnya kenapa?"

Alana masih menunduk, dia justru malah diam dan tidak menggubris perkataan Rafli.

"Aku tidak mau tau, kamu harus bisa berubah, orang yang melihatmu mungkin akan mengira kamu tidak pernah aku beri makan, aku juga nanti yang di salahkan."

"Iya, Mas. Mulai sekarang aku akan makan banyak."

Alana mengambil satu centong nasi lagi, dan ia menyantap makanan sedikit terburu-buru bahkan hanya sebentar mengunyahnya, dan langsung di telan, Rafli yang melihat itu hanya bisa menggelengkan kepalanya, bukannya merasa kasihan melihat Alana sedang makan justru malah jijik karena seperti orang kelaparan.

Keduanya kembali makan dalam diam, Alana sesekali memandang ke arah suaminya dengan tatapan sendu. Sampai akhirnya keduanya sama-sama sudah selesai, seperti seorang istri pada umumnya, Alana berlanjut membereskan serta mencuci tempat makannya, sedangkan Rafli kembali ke kamar untuk membersihkan tubuhnya.

***

"Alana?" Panggil Rafli.

Alana yang sedang berada di dekat mesin cuci menyahut. "Iya, Mas, sebentar!" Alana baru saja memasukkan pakaian ke pengering. Saat ingin berjalan tiba-tiba ia merasakan pusing, bahkan tubuhnya sedikit lemas, tetapi berusaha di tahan karena ia harus menemui suaminya.

"Ada apa, Mas?" tanya Alana.

"Uang belanja berapa lagi?" tanyanya.

"Masih ada, Mas."

"Iya, berapa?"

"Aku lupa, soalnya aku tidak menghitungnya. Tetapi aku sudah catat semua pengeluarannya, sebentar aku ambilkan dulu!" Alana hendak pergi.

"Tidak usah, aku cuma mau tanya. Karena kemarin aku sudah terlanjur ambil uang, ya sudah ini aku tambah lagi." Seraya memberikan beberapa lembar uang seratus ribuan. Alana melirik ke arah uang itu sejenak. Tumben sekali Rafli memberikannya uang lagi, biasanya harus di minta dulu.

"Mau apa tidak?" tanya Rafli sedikit meninggikan nada bicaranya.

"Iya, Mas." Seraya menerima uang itu. "Terimakasih, Mas." Alana melempar senyumnya.

"Aku lihat wajahmu kusam, kurang perawatan, sekali-kali kamu beli skincare biar wajahmu bersinar tidak suram. Itu uang untuk beli peralatan skincaremu."

Senyum Alana kembali memudar, tadi di hina soal tubuhnya yang kurus, dan sekarang soal wajah, sungguh bertubi-tubi sekali. Rasanya ingin meledak hatinya, namun ia bisa apa, bukankah memang faktanya begitu.

"Aku lebih baik tabung saja uangnya, Mas."

"Sudah, untuk menabung nanti aku berikan lagi, aku tidak mau tau, dalam waktu sebulan kamu harus sudah ada perubahan dari berat badan juga wajahmu, oh ya mulai sekarang perbanyak stok buah dan sayur juga, pokoknya harus makanan sehat." Alana hanya menganggukkan kepala, sepertinya ia sudah tidak tahan sekarang.

"Kamu itu istri dari seorang CEO yang sukses, jangan sampai membuat aku malu, aku seperti ini demi kebaikanmu juga, jadi aku ..."

Brug!

Alana jatuh pingsan, dan kejadiannya begitu cepat sehingga Rafli tidak sempat menahan tubuhnya, kini tubuh Alana sudah tergeletak di lantai. Rafli sampai membelalakkan kedua matanya, segera ia berjongkok.

"Alana? Bangunlah!" ucap Rafli sambil menepuk pipi Alana, tetapi tetap tidak bangun. Entah sekarang ia mulai merasa panik takut terjadi apa-apa, Lantas ia segera menggendong tubuh mungilnya itu yang ternyata terasa begitu ringan.

Rafli membaringkan tubuh Alana di atas sofa ruang tamu dengan lembut, Alana masih belum sadarkan diri. Rafli diam beberapa saat, menatap wajah Alana yang begitu pucat pasi, ia tidak tau, kenapa Alana bisa sampai pingsan, dia pikir ini hanyalah akting ternyata Alana benar-benar pingsan.

Apa dia sakit? Tetapi, sakit apa? Apa mungkin karena kelelahan mengerjakan pekerjaan rumah? Batin Rafli bertanya-tanya.

***
Terimakasih yang selalu vote juga komentar, kalian adalah penyemangat author 🥰

Author lagi semangat nih jadi double update 🤭 pengen banget yang setiap baca minimal vote. Biar authornya bisa double up terus 🙏

Rahasia Dibalik Senyum IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang