Bab 25. Panik

198 16 19
                                    

Rafli membuktikan perkataannya, bahwa hari ini ia akan pulang walau sedikit terlambat dari biasanya, setidaknya hari ini dia pulang ke rumah, namun keadaan rumah tampak sunyi seperti tidak berpenghuni.

Rafli tidak langsung ke kamar, dia berjalan menuju meja makan, dan ternyata tidak ada hidangan makan malam di sana. Entah sengaja atau memang Alana malas memasak.

"Untung saja aku sempatkan makan di luar tadi," ucap Rafli.

Segera bergegas menuju kamarnya, dan sedikit terkejut kala melihat Alana yang kini sedang meringkuk seperti janin dalam kandungan, di atas sajadah dengan masih mengenakan mukena.

Pikir Rafli, mungkin Alana ketiduran setelah sholat isya.

Walau Rafli masih ada rasa kesal dengan Alana, tetapi melihat sang istri yang tertidur di sembarang tempat tentu saja tidak nyaman di lihat, dengan itu ia berniat membangunkannya.

"Alana?" ucap Rafli dengan suara sedikit keras. Tetapi tubuh itu tidak ada pergerakan.

"Aku tau, kamu mungkin sedang pura-pura tertidur untuk mengharap aku bisa menggendongmu." Lanjut Rafli. Tetap saja tidak ada jawaban, sehingga ia sedikit geram, karena tidak biasanya Alana tidur sembarangan seperti ini.

Sehingga cara terakhir harus sedikit mengguncang tubuhnya, walau sebenarnya Rafli malas kalau harus membangunkan dengan cara menyentuhnya.

"Hei, bangunlah!" Sekali sentuhan tubuh Alana berguling menjadi terlentang. Rafli langsung terdiam melihat ini.

Ingatan demi ingatan terlintas di dalam pikirannya, saat Alana yang tiba-tiba mimisan, lalu pingsan, juga wajah yang selalu pucat.

"Jangan bercanda, Alana!" ucap Rafli dengan tegas.

Dengan perasaan yang tidak karuan, perlahan tangannya mendekat ke arah hidung Alana. ia mengecek pernafasan Alana seketika ia menghela nafas dengan lega, hampir saja ia berpikir bahwa Alana mungkin saja telah mati.

Rafli melempar tasnya dengan sembarang, di angkatnya tubuh Alana menuju ranjangnya, karena kini ia percaya jika Alana sepertinya pingsan. Di bukanya mukena yang di pakai Alana, di tatapnya wajah yang begitu pucat, kali ini ia benar-benar memperhatikan dengan dalam, wajah itu terlihat lelah, juga menyedihkan.

"Apa yang terjadi padamu, Alana?" gumam Rafli.

Ini kedua kalinya Alana pingsan, dan ia pun tidak tau mengapa Alana mudah sekali pingsan. Padahal selama satu tahun pernikahan ia melihat seorang Alana yang kuat tidak pernah terlihat lemah sedikit pun.

Selanjutnya ia mendekatkan kayu putih ke hidungnya seperti yang ia lakukan waktu itu, namun kali ini tidak berhasil. Rafli tidak mau berhenti sampai di situ, ia kemudian melakukan cara lain untuk membangunkan orang pingsan, dan kali ini berhasil membuat Alana terbangun.

"Mas?" Panggil Alana dengan suara lemah.

Rafli masih terdiam tidak tau harus berkata apa, tadi ia begitu panik melihat Alana yang pingsan begitu lama.

Alana berusaha untuk duduk, tanpa kata, tangan Rafli refleks membantu Alana sehingga kini ia bisa duduk lalu menyandarkan tubuhnya di ranjang.

"Kenapa aku berada di ranjang, Mas?" Kebingungan.

"Kamu pingsan lagi, aku menemukanmu sudah terbaring di sajadah," ucap Rafli.

"Pingsan? Ah, tidak! Aku itu ketiduran, Mas. Tadi setelah sholat isya aku tiba-tiba mengantuk jadi ketiduran." Sambil menguap dan di tutup dengan mulutnya.

Rafli hampir tak percaya mendengar ini, apalagi Alana menjawabnya dengan begitu santai, Rafli kembali berdiri menatap Alana dengan tajam.

"Jadi, tadi itu kamu hanya tidur?" tanya Rafli.

Alana mengangguk, "Iya, Mas. Aku ketiduran."

"Astaga! Kamu tau, aku sangat panik tadi, aku bahkan berpikir jika kamu itu sudah tak bernyawa."

Kata panik yang di ucap Rafli seketika membuatnya tertarik, kata yang menggambarkan jika suaminya khawatir padanya.

"Mas, kalau ternyata aku tadi tidak bernyawa, apa yang akan kamu lakukan?" Alana malah melanjutkan pembahasan itu.

Rafli menatap Alana dengan tajam. "Tentu saja aku kuburkan, namanya orang mati masa aku biarkan!"

Alana tersenyum getir, perkataan yang tanpa di saring terlebih dahulu, walau memang benar begitu, tetapi bukan ini jawaban yang ia inginkan.

"Kenapa kamu malah tersenyum?" tanya Rafli.

"Tidak apa, Mas. Baiklah, di lain waktu kalau aku tiba-tiba tergeletak lagi tanpa bernyawa, semoga saja kamu orang pertama yang akan menemukanku, supaya kamu urus pemakamanku," ucap Alana dengan begitu tenang.

Entah, sekujur tubuh Rafli malah merinding mendengarnya. Dia tidak menyangka Alana akan menjawab seperti itu.

"Kamu ini bicara apa, Alana? Berdoa yang baik, minta di panjangkan umur. Memngnya kamu siap kalau harus mati dalam waktu dekat?"

"Siap tidak siap, kematian itu harus aku hadapi, Mas."

Hati Alana terasa perih, sedih dan tidak sanggup membayangkan itu, tetapi ia hanyalah ciptaan tuhannya, tidak bisa ia meminta untuk tetap hidup.

"Sudah tidak usah di bahas lagi, jangan pernah kamu bahas soal kematian padaku." Setelah itu Rafli memutuskan untuk masuk ke dalam kamar mandi.

Butiran bening sudah menetes satu persatu, membasahi pipinya yang pucat itu.

"Sepertinya aku memang pingsan tadi, Ya Allah sebenarnya aku sangat takut, aku takut jika kelak engkau percepat aku untuk kembali padamu." Sengaja tadi ia berbohong mengatakan bahwa ia tertidur, ia hanya tidak mau membuat Rafli khawatir, walau pun sepertinya Rafli tidak akan merasa khawatir.

***

Beberapa puluh menit menunggu Rafli di kamar mandi, akhirnya pria itu sudah keluar lagi, keduanya kembali bertatapan. Ternyata Alana masih setia menunggu suaminya, dan masih berada di tempat yang sama seperti tadi.

"Kenapa kamu tidak melanjutkan untuk tidur lagi?" tanya Rafli yang kini sedang memakai pakaiannya.

"Kantukku sudah hilang, Mas."

"Oh," jawab Rafli dengan singkat.

"Mas, terimakasih karena kamu sudah pulang."

"Aku pulang bukan untuk kamu, aku pulang ke rumah karena ingin pulang saja, apalagi ini rumahku."

"Apa pun alasannya, terimakasih. Kamu juga 'kan yang memindahkan aku tadi? Terimakasih banyak, Mas."

"Ya, tidak usah terus berterimakasih, aku bosan mendengarnya."

Alana pun mengangguk, dan membalas dengan senyumnya.

"Oh ya, apakah bulan ini kamu sudah datang bulan?" Pertanyaan Rafli membuat Alana terkejut, entah apa maksud menanyakan soal itu.

"Kalau melihat jadwalnya, dua hari lagi, Mas."

"Biasanya berapa hari?"

"Satu Minggu, Mas." Rafli mengangguk tanpa Alana pahami apa maksudnya.

"Kenapa memangnya? Tumben kamu menanyakan soal datang bulan?"

Rafli terdiam mendadak bingung harus menjawab apa, dia menelan ludah berkali-kali sampai akhirnya berani menjawab, "Aku cuma bertanya saja, sudah tidak usah kamu pikirkan, sebaiknya sekarang kamu kembali tidur!"

"Kamu sendiri mau kemana, Mas? Kamu tidak mau langsung tidur?" tanya Alana saat melihat Rafli yang hendak pergi.

"Aku mau ngopi sebentar, kamu duluan saja!"

"Biar aku buatkan, Mas."

"Tidak usah, aku bisa sendiri. Aku sudah pulang seperti yang kamu minta, aku mohon untuk malam ini jangan ganggu aku! Apa pun yang aku lakukan di rumah, kamu tidak usah ikut campur!" Setelah itu Rafli sudah menghilang di balik pintu. Alana hanya bisa mengangguk.

"Mungkin, Mas Rafli masih menginginkan waktu sendiri. Ya sudahlah, yang penting malam ini dia sudah pulang." Alana pun kembali berbaring mencoba untuk memejamkan matanya lagi.


***

Vote+comen guys, happy reading 🙏

Rahasia Dibalik Senyum IstrikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang