Chapter 8 : Ketahuan

2.2K 53 21
                                    


Saat Kak Cindy membuka pintu kamar mandi, ekspresi wajahnya langsung menunjukkan keterkejutan yang mendalam. Aku duduk di lantai dengan tubuh telanjang, karena sebelumnya aku sudah membuka semua pakaianku, dan sekarang tubuhku dilihat oleh kakakku sendiri. Terlihat darah di bagian bawahku, menciptakan genangan kecil di sekitarku.

 Terlihat darah di bagian bawahku, menciptakan genangan kecil di sekitarku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Reza! Oh Tuhan!" teriak Kak Cindy, suaranya penuh ketakutan. Wajahnya pucat, matanya membesar, seolah baru saja melihat sesuatu yang mengerikan. Dia melangkah maju, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Aku hanya bisa menatapnya dengan mata penuh air mata dan rasa sakit yang memuncak. "Aku... aku nggak tahu, Kak. Darah ini nggak bisa berhenti..."

Tanpa ragu, Kak Cindy segera mengangkat tubuhku dengan hati-hati, seperti mengangkat sesuatu yang sangat rapuh. Meski aku merasa malu dan tidak berdaya, dia berusaha untuk tetap tenang dan tidak menunjukkan rasa jijik. Darah yang menetes dari tubuhku mulai membasahi bajunya, tapi dia tetap fokus membawa aku ke kamar. Dia bergerak cepat, langkahnya penuh kecemasan tapi tetap berhati-hati agar tidak membuatku semakin sakit. Sesampainya di kamar, Kak Cindy membaringkanku di ranjangnya dengan lembut, mencoba membuatku merasa sedikit lebih nyaman di tengah kekacauan ini.

"Bagaimana bisa kayak gini? Sudah berapa lama kamu nyembunyiin ini dari aku?" tanya Kak Cindy.

Aku tidak bisa berkata apa-apa, sudah nggak bisa bohong lagi ke dia yang mulai panik melihat semua yang terjadi di tubuhku.

"Reza? Jawab, kenapa tubuh kamu kayak... cewek?" Terlalu banyak pertanyaan dari Kak Cindy, dan aku tanpa sadar menangis. Air mataku mengalir, dan baru kusadari betapa cengengnya aku hari ini.

"Nggak tahu, Kak. Tiba-tiba bisa begini... aku nggak berani ngomong dari awal. Aku takut." Dia mendekat, mengambil tisu, lalu mengelap air mataku.

"Udah, jangan nangis. Cowok masa nangis," balasnya.

Kamar kak cindy bernuansa warna pink feminim, kamarnya penuh barang barang pribadi miliknya dan hanya diterangi cahaya matahari sore yang masuk lembut melalui tirai jendela. Suasana kamar berubah menjadi ruang perlindungan sementara di tengah situasi ini. Kak Cindy segera mengambil beberapa handuk bersih dan mulai membersihkan darah yang menempel di kulitku. Dia bekerja dengan lembut namun penuh perhatian, suaranya bergetar ketika mencoba menenangkanku.

 Dia bekerja dengan lembut namun penuh perhatian, suaranya bergetar ketika mencoba menenangkanku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku merasa sangat lemah dan tidak berdaya. Tubuhku semakin dingin dan sakit. Meski Kak Cindy berusaha menenangkan dengan berbicara lembut, perasaan malu dan cemas terus menguasai pikiranku. Setiap kali Kak Cindy menyentuhku, aku merasa semakin sadar akan betapa putus asanya situasi ini.

Ketika Kak Cindy selesai membersihkan darah, dia duduk di sampingku, menatapku penuh kekhawatiran. Aku perlahan menceritakan bagaimana awal mulanya dada ini mulai sensitif dan membesar perlahan, dan sekarang malah "seperti menstruasi."

Meski Kak Cindy terlihat terguncang dan bingung, dia berusaha keras untuk tetap tenang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Meski Kak Cindy terlihat terguncang dan bingung, dia berusaha keras untuk tetap tenang. Dia mencoba mencari tahu apa yang bisa dilakukan, meskipun jelas dia sendiri merasa bingung dengan situasi ini. Setiap detik terasa seperti beban, dan aku hanya bisa berharap semuanya segera membaik.

Kak Cindy mengambil pakaianku di kamar dan menyuruhku memakainya, karena sejak tadi aku bugil. Dia bilang, "Aku nggak ngerti kenapa kamu sampai begini, sampai harus pakai handuk buat nutupin dada yang membesar. Mending kamu pakai binder chest biar rata, daripada pakai handuk begitu."

"Tapi aku nggak punya, lagian nggak mau pakai itu, kayak cewek," jawabku.

"Ya udah, aku kan punya. Atau mau pakai bra aja? Aku bisa pinjemin. Nanti kalau dadamu makin besar dan nggak ditahan, malah kendur," balasnya sambil membongkar lemarinya.

Aku hanya melihatnya dan kepikiran, bagaimana kalau aku semakin mirip perempuan? Apa aku bakal berubah total suatu saat nanti? Apa dadaku akan semakin besar?

"TIDAK MAU, KAK!" bantahku keras.

Kak Cindy kaget mendengar teriakanku dan melihat aku memegang perut karena masih terasa sakit.

"Masih sakit, ya? Nih, Kiranti. Siapa tahu mendingan," katanya sambil memberikan sebotol Kiranti dari lacinya.

"Ini kan buat menstruasi, Kak. Aku nggak butuh ini, aku bukan cewek."

"Lah, terus kamu jadi apa dong? Darahmu itu mirip darah mens. Siapa tahu kamu punya rahim. Dadamu aja udah mirip cewek."

Blep. Dia menekan dadaku pakai jarinya. Aku bisa merasakan betapa empuknya saat jarinya menyentuh kulitku dan tenggelam sedikit ke dadaku yang seperti anak-anak.

"Aaah," desahku refleks karena geli.

Kenapa rasanya aneh, ya? Dada ini tidak seperti biasanya, rasanya menyetrum saat disentuh orang lain.

Dia mulai meremasnya pelan.

"Jangan, Kak... geli," ucapku lemah.

Rasanya benar-benar aneh.

"Tuh kan, udah bisa dipegang begini. Bentar lagi makin besar, deh," katanya sambil melempar binder chest miliknya untuk kupakai nanti.

 Bentar lagi makin besar, deh," katanya sambil melempar binder chest miliknya untuk kupakai nanti

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Itu dipakai nanti, ya. Jangan sampai aku kasih bra juga atau tanktop."

Aku pun nggak pakai apa-apa, hanya pakai kaos yang dia berikan, dan tanpa sadar aku tertidur di kamarnya.

Cowok Punya Hormon CewekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang