Hujan masih mengguyur deras di luar, menambah suasana hening di kamar Meira yang hanya diterangi oleh cahaya dari televisi. Film yang diputar sudah hampir selesai, tapi mataku semakin berat. Sejak tadi aku berusaha tetap terjaga, tapi suasana yang nyaman, ditambah pakaian hangat yang kupakai, membuat rasa kantuk menyerang tanpa ampun.
Meira duduk di sebelahku, sama-sama menonton dengan santai. Aku melirik ke arahnya, dan melihat dia juga sudah mulai tertidur dengan posisi bersandar di bantal. Rasanya aneh, aku nggak pernah tidur di kamar cewek selain di kamar Kak Cindy, tapi sekarang di sinilah aku, terjebak karena hujan dan tak bisa pulang.
Tanpa sadar, mataku terpejam. Rasa kantuk menang, dan aku pun tertidur di sana, di kamar Meira yang hangat, dengan suara hujan di latar belakang. Tubuhku tenggelam dalam rasa nyaman yang aneh—sesuatu yang jarang kurasakan.
~Aku tersentak bangun, suara dari ponsel yang bergetar di meja di sebelahku membangunkanku. Pandangan mataku masih kabur, tapi samar-samar kulihat layar ponselku menyala, menunjukkan beberapa panggilan tak terjawab. Jam di layar ponsel menunjukkan pukul 02:00 dini hari. Hujan di luar sudah mulai reda, tapi dingin malam masih merasuk ke kamar.
Mataku langsung membelalak saat melihat nama di layar. Ibu dan Kak Cindy sudah berkali-kali menelepon. Aku menelan ludah, panik. Mereka pasti cemas, karena aku belum mengabarkan apa-apa sejak tadi. Aku bahkan lupa memberi tahu mereka kalau aku terjebak di rumah Meira.
Meira di sebelahku masih tertidur, posisi tubuhnya sedikit menyender ke arahku. TV di depan kami masih menyala, memutar film yang entah sudah sampai bagian mana. Suara film itu samar-samar terdengar, tapi aku lebih fokus ke ponselku yang terus bergetar dengan panggilan baru masuk dari Kak Cindy.
“Shit,” gumamku pelan, langsung mengambil ponsel dan meraih jaketku yang tergeletak di ujung kasur. Aku berusaha bangkit perlahan agar tidak membangunkan Meira, tapi setiap kali aku bergerak, rasanya rok ini terlalu panjang dan menghalangi.
Aku merasakan tekanan di dadaku saat menarik napas dalam-dalam, mencoba mengatur emosi. Bagaimana aku bisa lupa memberi kabar? Apa yang harus kukatakan pada ibu dan Kak Cindy nanti?
Kak Cindy pasti marah besar. Dia orang yang paling khawatir soal aku sejak perubahan ini dimulai. Tidak jarang dia bertanya berlebihan setiap kali aku pulang telat. Tapi kali ini, aku bahkan nggak mengabari dia sama sekali. Aku menggerakkan jempolku dengan cepat di layar ponsel, membuka chat Kak Cindy yang isinya penuh dengan pesan-pesan cemas.
Cindy: "Zah, kamu di mana? Ini udah jam 10 malam. Belum pulang?"
Cindy: "Kamu lupa ngasih tahu kalau kamu telat pulang?"
Cindy: "Reza, jangan sampai ibu khawatir!"
Cindy: "Zah, telepon aku balik!"
Lalu pesan terakhir dari Ibu:
Ibu: "Nak, kamu di mana? Kakakmu bilang kamu belum pulang. Telepon ibu sekarang juga!"
Aku mengusap wajahku, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk mengirim pesan cepat. "Bu, maaf, aku di rumah temen. Terjebak hujan, jadi nggak bisa pulang. Nanti pagi aku balik." Pesan terkirim, tapi perasaanku masih campur aduk. Harusnya aku memberi tahu mereka lebih awal.
Tepat saat aku selesai mengetik, Meira bergerak pelan di sampingku, menguap kecil sebelum membuka mata. “Zah? Jam berapa ini?” tanyanya, suaranya masih serak karena baru bangun.
Aku menatapnya sejenak, lalu menunjuk ke arah jam di layar TV. “Udah jam 2 pagi, Mei. Dan aku baru sadar... ibu sama kakak udah cari aku dari tadi. Aku lupa ngabarin.”
Meira duduk tegak, terlihat sedikit terkejut. “Jam 2? Wah, aku juga ketiduran. Kamu nggak apa-apa? Mereka panik nggak?”
Aku menghela napas panjang. “Ya... gitu deh. Kak Cindy pasti marah banget.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Punya Hormon Cewek
Novela JuvenilPERINGATAN: Cerita ini mengandung tema dewasa seperti eksplorasi seksualitas dan perubahan gender. Hanya untuk pembaca berusia 21+ . Harap bijak dalam membaca dan menghormati batasan pribadi masing-masing. Cerita ini tidak dimaksudkan untuk konsums...