Meira terus menggandeng lengan Reza saat mereka menuju UKS. Meskipun jalan sekolah sudah sepi karena sebagian besar siswa masih berada di kolam renang, Reza merasa setiap langkahnya semakin berat. Sensasi sesak dan nyeri di dadanya tak kunjung hilang. Rasa perih yang timbul akibat perekat yang dia pakai semakin menyiksanya. Tapi lebih dari itu, kekhawatiran tentang Meira yang terus bersamanya, mengamati dengan penuh perhatian, membuat Reza semakin gelisah.
“Kamu yakin nggak apa-apa?” tanya Meira, menghentikan langkahnya sejenak dan menatap Reza dengan penuh kekhawatiran. Matanya yang biasanya bersinar ceria kini terlihat lebih serius, membuat Reza semakin merasa terjebak.
Reza menelan ludah, mencoba menenangkan diri. “Iya, serius, Mei. Aku cuma... capek aja,” jawabnya pelan, memaksakan senyum yang tak bisa menyembunyikan rasa sakit di wajahnya.
“Kamu kelihatan aneh sejak tadi, Zah. Dari tadi di kolam kamu diem aja. Bukan kamu banget,” Meira melanjutkan, seolah tidak puas dengan jawaban singkat Reza.
Reza mengalihkan pandangannya, berusaha mencari alasan lain yang bisa diterima Meira. Tapi tidak ada. Setiap kata yang akan keluar dari mulutnya terasa salah, dan setiap gerakan terasa seperti mengundang kecurigaan lebih jauh.
Akhirnya, mereka sampai di depan ruang UKS. Reza merasa lega sekaligus semakin cemas. Ruang ini bisa menjadi tempat ia beristirahat dari rasa sakit, tetapi juga tempat di mana Meira mungkin akan menanyakan lebih banyak hal yang tidak bisa dia jawab. Meira membuka pintu UKS dan mengajak Reza masuk.
Ruang UKS terasa sunyi. Hanya ada seorang petugas medis yang sedang menulis sesuatu di mejanya. Petugas itu mengangkat wajahnya begitu melihat Reza dan Meira masuk. "Ada apa ini?" tanyanya dengan suara ramah.
"Teman saya nggak enak badan, Pak," kata Meira cepat. "Dia tadi kelihatan pucat dan mengeluh sakit, jadi saya antar ke sini."
Reza berusaha tidak menampakkan raut wajah yang terlalu panik. "Cuma kecapean aja, Pak," jawabnya, berharap petugas itu tidak terlalu banyak bertanya.
"Baik, kamu bisa baring di sini dulu," kata petugas medis itu sambil menunjukkan salah satu ranjang di sudut ruangan. "Saya periksa sebentar, ya."
Reza berjalan pelan ke arah ranjang, tubuhnya terasa lebih ringan sedikit, tapi hatinya masih berdebar kencang. Meira mengikutinya dari belakang, memperhatikan setiap gerakan Reza dengan tatapan khawatir.
"Mei, nggak usah lama-lama di sini. Aku beneran cuma capek," ujar Reza, berharap Meira mau meninggalkannya.
Meira menatap Reza sejenak, terlihat ragu. "Yakin? Aku nggak apa-apa kok nungguin."
Reza menatap Meira, mencoba meyakinkan gadis itu dengan tatapan serius. "Iya, Mei. Aku cuma butuh istirahat bentar. Kamu balik aja ke kolam."
Setelah beberapa detik yang terasa begitu lama, akhirnya Meira mengangguk pelan. "Oke, kalau gitu aku balik. Tapi kalau kamu masih sakit, jangan ragu bilang ke aku, ya," ucapnya, sebelum melangkah keluar dari ruangan UKS dengan langkah ragu.
Begitu pintu tertutup di belakangnya, Reza menghela napas panjang. Akhirnya, dia bisa sedikit bernapas lega tanpa harus khawatir dengan Meira yang selalu mengawasinya. Tapi di dalam pikirannya, kecemasan lain mulai muncul—bagaimana jika hal seperti ini terjadi lagi? Bagaimana ia bisa terus menyembunyikan semua ini dari teman-temannya?
Begitu petugas medis mempersilakan Reza untuk berbaring di ranjang UKS, Reza melakukannya dengan hati-hati, menahan rasa sakit yang terus menusuk di dadanya. Petugas itu memeriksa denyut nadinya sebentar, lalu berdiri dan berkata, “Saya ambil alat dari ruang laboratorium sebentar, kamu istirahat dulu, ya. Nanti saya periksa lagi.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Punya Hormon Cewek
Teen FictionPERINGATAN: Cerita ini mengandung tema dewasa seperti eksplorasi seksualitas dan perubahan gender. Hanya untuk pembaca berusia 21+ . Harap bijak dalam membaca dan menghormati batasan pribadi masing-masing. Cerita ini tidak dimaksudkan untuk konsums...