Aku terbangun dengan napas yang masih memburu, keringat dingin membasahi seluruh tubuh. Kamar remang-remang, tirai jendela tertutup, dan sepi, hanya terdengar detak jam yang berdetak pelan di dinding. Aku meraba wajah, masih terbayang mimpi tadi. Rasanya begitu nyata, seperti ibu benar-benar berdiri di depanku, marah, kecewa, dan... terkejut melihat tubuhku yang sudah berubah.
Dalam mimpi itu, aku sedang berdiri di depan cermin, tanpa satu helai pakaian pun, dan tiba-tiba ibu membuka pintu kamarku tanpa peringatan. Dia masuk, dan langsung tertegun. Tatapannya menyapu tubuhku, dari kepala hingga kaki, matanya yang biasanya penuh kasih kini berubah menjadi pandangan yang nggak pernah aku bayangkan-kecewa, marah, dan... hancur.
"Reza, ini apa?" suaranya bergetar dengan nada marah yang nyaris tak bisa ia kendalikan.
Aku yang dalam mimpi itu hanya bisa berdiri terpaku. Bibirku terbuka, tapi nggak ada kata-kata yang bisa keluar, dan sebelum aku sadar, ibu menyuruhku menunjukkan semuanya. "Buka, Reza. Sekarang. Ibu mau lihat," desaknya dengan nada yang memaksaku mengikuti. Aku menelan ludah, perlahan melepas kaos dan celana yang kupakai dalam mimpi itu, membiarkan ibu melihat tubuhku yang telah berubah-dada yang kini membulat, pinggang ramping, bahkan lekuk tubuh yang semakin membuatku terlihat berbeda.
Ekspresi ibu berubah jadi campuran antara sedih, kecewa, dan kemarahan. "Apa yang terjadi sama kamu? Kenapa kamu berubah kayak gini? Kamu ini laki-laki atau bukan?!" desaknya, seolah nggak mampu menerima apa yang ada di depannya.
Aku ingin bicara, menjelaskan kalau aku pun nggak paham dengan semua perubahan ini. Tapi sebelum sempat membuka mulut, ibu melangkah mundur, wajahnya semakin sedih. "Kamu menutupi ini semua dari ibu... Kenapa? Apa kamu tahu bagaimana ini bisa mempengaruhi kita semua?"
Setiap kata yang keluar darinya terasa seperti pukulan, membuatku semakin hancur. "Bu, aku nggak mau semua ini terjadi," ucapku pelan dalam mimpi itu, suaraku pecah, penuh dengan ketakutan yang tertahan selama ini.
Dan di saat itu pula, ibu membalikkan badan, berjalan keluar dari kamarku tanpa sepatah kata pun. Dia meninggalkanku dalam diam, dalam kebingungan, dalam keputusasaan yang menyakitkan.
Lalu... aku terbangun.
Aku duduk di atas ranjang, napas masih terengah, dan tubuhku terasa dingin. Kubenamkan wajahku di tangan, menyeka sisa keringat yang masih membasahi wajah. Rasa takut itu belum sepenuhnya hilang, masih terasa nyata. Aku melirik cermin di seberang kamar-semua perubahan tubuh ini memang nyata. Tapi mimpi tadi hanya mimpi.
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, tapi suara ibu di dalam mimpi itu masih bergema di kepalaku. "Kamu ini laki-laki atau bukan?"
Tanpa sadar, aku memegangi dadaku yang kini terasa semakin berat dan membulat. Mimpi tadi seperti mimpi buruk yang penuh peringatan, sebuah bayangan tentang apa yang akan terjadi jika keluarga tahu, jika ibu benar-benar melihat tubuhku yang sekarang.
Perasaan cemas masih menyelimuti, tapi aku tahu, mungkin waktu itu akan tiba-waktu ketika ibu benar-benar harus tahu. Tapi untuk sekarang, aku hanya bisa duduk di sini, berharap mimpi buruk itu nggak akan jadi kenyataan.
Aku duduk di tepi ranjang, masih terpengaruh oleh mimpi buruk tadi. Fisikku yang semakin feminin memang nyata.
Tapi kejadian dengan ibu tadi hanyalah mimpi, sebuah mimpi buruk yang mungkin menggambarkan ketakutanku yang paling dalam.Baru saja aku menarik napas lega, tiba-tiba ponselku bergetar di atas meja. Aku meraihnya, melihat nama Rian muncul di layar.
"Yo, Zah, nanti malam nongkrong yuk. Vito juga ikutan. Cowok-cowok aja, nih! Mau nggak?" Suaranya terdengar antusias di ujung telepon.
Aku terdiam sejenak, mencoba membayangkan suasana nongkrong bareng Vito dan Rian seperti dulu. Tiba-tiba rasa ragu muncul-dengan perubahan fisikku yang semakin terlihat, aku nggak yakin bisa berbaur biasa aja dengan mereka tanpa memancing perhatian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Punya Hormon Cewek
Teen FictionPERINGATAN: Cerita ini mengandung tema dewasa seperti eksplorasi seksualitas dan perubahan gender. Hanya untuk pembaca berusia 21+ . Harap bijak dalam membaca dan menghormati batasan pribadi masing-masing. Cerita ini tidak dimaksudkan untuk konsums...