Aku masih menatap Meira, bingung dan tidak percaya. Suara ini—lembut, halus, dan sangat feminim—tidak seharusnya keluar dari tenggorokanku. Sejak perubahan tubuhku dimulai, suara ini memang muncul sesekali, tapi aku tidak pernah bisa mengendalikannya. Kini, di tengah-tengah rasa malu karena penampilanku yang sudah cukup membuatku tidak nyaman, suaraku pun berubah lagi, semakin membuatku merasa terjebak.
Meira mendekat, menatapku dengan campuran simpati dan kekhawatiran. "Rena, aku serius. Kamu tahu kan, tubuh kamu berubah, hormon kamu... mungkin itu yang bikin suara kamu berubah juga," katanya sambil merapikan hijabku.
Aku menghela napas panjang. "Tapi, Mei... kenapa ini terjadi? Aku cowok, tapi kenapa suaraku bisa tiba-tiba berubah jadi kayak suara perempuan?" Suaraku masih terdengar begitu lembut, semakin membuatku merasa asing dengan diriku sendiri.
Meira duduk di depanku, mencoba menenangkan. "Rena hormon itu bisa ngaruh ke banyak hal, termasuk suara. Mungkin hormon estrogen kamu meningkat, makanya suara kamu berubah kayak gini. Ini nggak aneh, banyak yang ngalamin perubahan kayak gini."
Aku menunduk, merasa semakin cemas. "Tapi aku nggak ngerti, Mei. Aku cowok... kenapa tubuhku kayak gini? Dan kenapa suara ini keluar pas aku lagi kayak gini?"
Meira berpikir sejenak, lalu bicara dengan nada pelan. "Mungkin tubuh kamu bereaksi terhadap sesuatu, atau hormon kamu memang nggak seimbang. Kamu kan belum periksa ke dokter, Bisa jadi hormon estrogen kamu terlalu tinggi. Ini bisa dijelaskan."
Aku menggeleng pelan, merasa kebingungan semakin dalam. "Tapi... apa aku harus periksa? Aku takut kalau orang lain tahu...," ucapku lirih, merasa cemas akan penilaian orang lain.
Meira menatapku serius. "Rena kalau kamu nggak periksa, kamu nggak akan tahu apa yang sebenarnya terjadi sama tubuh kamu. Kalau ini berlanjut, kamu bisa semakin bingung sendiri. Lagipula, ini nggak aneh. Banyak orang yang ngalamin perubahan hormonal."
Aku menatap Meira dengan kaget, lalu langsung menegang. "Mei... kenapa kamu manggil aku Rena?" tanyaku, suaraku masih terdengar lembut dan feminim, meski jelas ada nada kebingungan di sana.
Meira tampak tersadar, wajahnya sedikit memerah. "Oh... maaf, Reza. Aku tadi... ya, nggak sadar," katanya, terlihat canggung. Tapi kemudian dia tersenyum kecil, dan di balik senyumnya itu, ada sedikit rasa bangga. "Tapi, kamu cantik banget, Zah. Serius deh. Penampilan kamu sekarang benar-benar bikin aku merasa kayak lagi ngomong sama cewek asli."
Aku terdiam sejenak, tidak tahu harus berkata apa. Cantik? Aku? Itu bukan sesuatu yang biasa kudengar. Meira, sahabatku, yang selalu jujur, mengatakan aku cantik. Ada perasaan aneh yang merayap di dalam diriku—bukan hanya canggung, tapi juga campuran malu dan bingung.
"Mei... seriusan, jangan panggil aku Rena kalau nggak ada Bu Yuni," kataku akhirnya, mencoba menutupinya dengan senyum kaku. "Aku masih Reza."
Meira tertawa kecil, lalu mengangguk. "Iya, maaf. Tapi beneran, Zah. Sekarang kamu kelihatan seperti cewek banget. Mungkin karena kamu udah terbiasa sama perubahan tubuh kamu, jadi aku... ya, refleks aja manggil kamu Rena."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Punya Hormon Cewek
Teen FictionPERINGATAN: Cerita ini mengandung tema dewasa seperti eksplorasi seksualitas dan perubahan gender. Hanya untuk pembaca berusia 21+ . Harap bijak dalam membaca dan menghormati batasan pribadi masing-masing. Cerita ini tidak dimaksudkan untuk konsums...