Saat aku berusaha keluar dari ruang ganti, wajahku terasa panas dan merah padam karena belum tahu persis cara pakai kebaya. Bagian atasnya masih menggantung longgar, sementara roknya malah kusut dan kelihatan aneh. Aku mengintip keluar dari balik tirai ruang ganti, berharap Kak Cindy bisa menolong.
Kak Cindy yang sudah menunggu di luar melangkah masuk begitu melihat wajahku yang bingung.
“Kenapa, Rena?” tanya Kak Cindy, setengah menahan tawa melihat kekacauan kebaya yang kupakai. Dia pasti menikmati banget situasi ini.
“Aku… nggak ngerti cara pakenya, Kak,” jawabku pelan, hampir berbisik. Sebenarnya aku bisa saja bicara biasa, tapi suara cowokku ini terlalu mencolok kalau terdengar di tengah suasana elegan toko kebaya ini.
Kak Cindy langsung tersenyum sambil menarik tirai lebih rapat, memastikan tak ada yang bisa melihat kami dari luar. “Oke, sini, aku bantu. Pelan-pelan ya, biar rapi.”
Aku menatapnya dengan pasrah, menghela napas pelan. “Thanks, Kak.”
Dia mulai membetulkan kerah kebaya yang kelihatan miring, lalu meluruskan bagian bawahnya agar tidak terlipat. Sesekali dia melirik ke arahku dan mengangguk puas. Aku hanya bisa berdiri diam, menatap cermin di depanku dan mencoba membiasakan diri dengan bayangan yang kulihat. Bayangan itu jelas-jelas tidak terlihat seperti aku biasanya. Itu… ya, itu "Rena."
“Kalau dipasang rapi kayak gini, bagus kan?” Kak Cindy mengelus-elus bagian kerah yang sekarang terlihat lebih pas. Dia membenarkan lagi bagian depan dan belakang, memastikan kebaya itu duduk sempurna di tubuhku.
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis, tapi tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Setiap kali mau ngomong, aku langsung ingat bahwa suaraku masih… suaraku. Belum ada latihan yang cukup buat membuatnya terdengar lebih lembut atau feminim. Jadi, aku memilih diam dan mencoba menikmati peran ini tanpa perlu bicara.
“Eh, jangan diem aja, dong! Nyoba ngomong kayak cewek gitu kek, biar terbiasa,” goda Kak Cindy sambil tertawa kecil.
Aku hanya menggeleng cepat, tidak mau mengambil risiko. Aku tahu sekali aku buka mulut, aku bakal membongkar kedok ini. Jadi aku memilih diam dan hanya tersenyum, walaupun rasanya aneh banget.
“Ah, kamu malu ya? Udah lah, aku tahu kok,” katanya sambil terkikik. Dia lalu menambahkan, “Nggak apa-apa. Kalau nanti di acara nikahan, kamu harus belajar buat ngobrol kayak cewek, ya.”
Kak Cindy membantu menyusun rok kebaya yang dari tadi agak kusut. “Gini loh, rok kebayanya diselipin di sini biar lebih kencang, nanti nggak gampang lepas,” katanya sambil menunjukkan caranya. Dia menjelaskan pelan-pelan, dan aku memperhatikan baik-baik. Rasanya baru pertama kali kebaya sedetail ini aku pakai. Semua terasa baru, tapi juga ada semacam sensasi geli karena Kak Cindy benar-benar total membimbingku.
Setelah semuanya rapi, aku menatap diriku di cermin lagi. Kali ini, aku merasa lebih percaya diri. Kak Cindy menepuk bahuku pelan dan memberiku senyum puas.
“Aku rasa ini cocok banget buat kamu, Rena,” katanya, menekankan panggilan baruku dengan nada bangga.
Aku mencoba menarik napas, lalu mengeluarkannya perlahan, berharap nggak terlalu kelihatan gugup. Kak Cindy jelas sangat menikmati situasi ini, sementara aku masih berusaha menerima kenyataan bahwa ini mungkin adalah salah satu momen paling absurd dalam hidupku.
Kami keluar dari ruang ganti, dan saat itu aku tetap memilih diam sambil mengikuti Kak Cindy yang sudah dengan percaya dirinya berjalan menuju meja kasir untuk melakukan pembayaran. Di sepanjang jalan, aku hanya bisa mendengar langkah kaki kami, sementara wajahku terasa semakin memerah.
Begitu selesai, Kak Cindy menoleh ke arahku dan mengedipkan mata. “Oke, misi selesai. Sekarang tinggal kita pulang, dan kamu masih tetap diam ya? Lucu banget liat kamu kayak gini.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Punya Hormon Cewek
Teen FictionPERINGATAN: Cerita ini mengandung tema dewasa seperti eksplorasi seksualitas dan perubahan gender. Hanya untuk pembaca berusia 21+ . Harap bijak dalam membaca dan menghormati batasan pribadi masing-masing. Cerita ini tidak dimaksudkan untuk konsums...