Pagi itu, aku terbangun lebih cepat dari biasanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, dan suasana di luar masih sepi. Tapi, pikiranku sudah berantakan. Perasaan campur aduk dari semalam masih membekas-antara cemburu, bingung, dan sedikit kecewa. Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap ponsel yang tergeletak di atas meja, berharap ada sesuatu yang bisa mengalihkan pikiranku.
Semalaman, aku terus teringat Meira dan Rian. Cara mereka ngobrol, bercanda, dan tawa kecil Meira setiap kali Rian melontarkan lelucon. Semua itu membuat perutku terasa mual. Aku nggak ngerti kenapa, tapi setiap kali membayangkan mereka berdua, hatiku terasa sesak.
Aku menghela napas berat dan memutuskan untuk bangun dari tempat tidur. Di luar kamar, aku berjalan menuju dapur. Pikiranku masih saja memutar kejadian semalam. Ketika aku sampai di dapur, ibuku sudah bangun, sibuk menyiapkan sarapan. Suara kompor yang menyala dan aroma masakan sedikit membuatku merasa lebih tenang.
"Bangun pagi, Za?" suara ibu terdengar, membuatku sadar dari lamunan.
Aku mengangguk sambil bersandar di dinding dapur. "Iya, Bu. Nggak bisa tidur."
Ibu menoleh sedikit, menatapku dengan tatapan penuh perhatian. "Ada yang dipikirin?"
Aku berpikir sejenak, menimbang-nimbang apakah harus cerita. Tapi, semua ini terasa terlalu rumit untuk dijelaskan. "Enggak, cuma... lagi nggak bisa tidur aja," jawabku akhirnya, berusaha tersenyum meskipun nggak yakin ibu percaya.
Dia nggak mendesak lebih jauh. Hanya tersenyum sambil melanjutkan aktivitasnya di dapur. "Ya udah, kalau ada apa-apa, cerita aja, ya. Jangan dipendem sendiri."
Aku mengangguk pelan. Dalam hati, aku tahu ibu benar. Tapi untuk sekarang, aku merasa lebih baik kalau semua ini aku simpan sendiri.
Aku beranjak duduk di meja makan, menatap kosong ke arah jendela. Pikiranku masih saja terpusat pada Meira. Senyumnya, caranya tertawa, dan setiap kata yang diucapkan semalam seolah terulang-ulang di benakku. Tapi, setiap kali bayangan itu muncul, selalu ada Rian di sisinya. Tiba-tiba, aku merasa bodoh. Apa aku terlalu berharap? Apa yang sebenarnya aku harapkan dari semua ini?
"Bu," panggilku pelan.
"Iya, Nak?"
Aku terdiam sejenak. Nggak tahu harus mulai dari mana. "Ibu pernah nggak sih, bingung sama perasaan sendiri?"
Ibu menoleh, tersenyum kecil dan berjalan mendekat. Dia duduk di sebelahku, matanya lembut dan penuh pengertian. "Pernah, dulu waktu seumuran kamu. Banyak hal yang bikin Ibu bingung, terutama soal teman dan perasaan."
Aku hanya mendengarkan, merasa sedikit lega bisa berbicara meskipun nggak secara langsung tentang apa yang aku rasakan.
"Kadang, perasaan itu emang nggak mudah dipahami. Tapi kamu nggak perlu buru-buru ngerti semuanya. Pelan-pelan aja. Yang penting, jangan terlalu keras sama diri sendiri," lanjutnya.
Aku mengangguk pelan. Kata-kata ibu selalu berhasil bikin aku merasa sedikit lebih tenang, meskipun nggak sepenuhnya menghilangkan kegelisahan. "Iya, mungkin aku terlalu mikirin hal-hal yang nggak perlu."
Setelah beberapa saat, aku kembali ke kamar. Rasanya, sedikit lebih baik setelah berbicara dengan ibu, tapi kegelisahan itu belum sepenuhnya hilang. Aku mengambil ponsel yang ada di meja, membuka WhatsApp, dan melihat pesan-pesan baru masuk.
Salah satunya dari Meira.
"Reza, makasih ya udah ngajakin nonton kemarin. Aku seneng banget!" tulis Meira, diakhiri dengan emoji hati.
Pesan itu membuatku terdiam. Jantungku berdebar lebih cepat, tapi di saat yang sama, pikiranku kembali dipenuhi keraguan. Apakah dia benar-benar senang? Atau ini cuma basa-basi? Dan kenapa ada emoji hati? Apa ini berarti sesuatu?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Punya Hormon Cewek
Teen FictionPERINGATAN: Cerita ini mengandung tema dewasa seperti eksplorasi seksualitas dan perubahan gender. Hanya untuk pembaca berusia 21+ . Harap bijak dalam membaca dan menghormati batasan pribadi masing-masing. Cerita ini tidak dimaksudkan untuk konsums...