Di koridor sekolah, Vito dan Rian menghampiri Reza yang sedang bersandar di loker, terlihat agak sibuk menata buku-bukunya.
"Zah, sabtu ini kosong, nggak?" Vito bertanya sambil melirik ke arah Rian yang tersenyum penuh arti. "Kita ada rencana buat main bareng nih, seru-seruan kayak dulu!"
Reza merasakan perutnya sedikit mencelos. Hari Sabtu? Tepat di hari acara pernikahan itu, hari di mana dia harus menemani Kak Cindy… dengan pakaian kebaya dan segala pernak-perniknya. Dia tahu ini jelas nggak mungkin dia ceritakan begitu saja.
"Eh, sabtu ya..." Reza berusaha memasang ekspresi biasa, tapi bibirnya terasa kelu. "Kayaknya nggak bisa, deh."
Rian menatapnya dengan tatapan bingung, sedikit kecewa. "Serius, Zah? Cuma Sabtu aja kok, bukannya kamu biasa kosong?"
Reza menarik napas, berusaha sebisa mungkin untuk tidak menunjukkan wajah panik. "Iya, tapi... aku ada urusan keluarga," jawabnya akhirnya, memilih kata-kata dengan hati-hati sambil menunduk sedikit, menghindari kontak mata langsung.
Vito tertawa kecil dan menyikut bahu Reza. "Urusan keluarga? Wah, rahasia banget, dong? Tumben-tumbenan, nih."
Reza hanya bisa tertawa kaku, lalu menggelengkan kepala. “Nggak, bukan gitu... ya, pokoknya penting deh.” Dia tahu jawabannya nggak terlalu meyakinkan, tapi itu satu-satunya cara untuk menghindari pertanyaan lebih jauh.
Rian menyipitkan mata, jelas belum puas dengan jawaban Reza. "Ayo, cerita aja. Kita kan temen lo. Siapa tau bisa bantu?"
Reza terdiam sejenak, merasa semakin terpojok dengan rasa penasaran mereka. Perutnya mulai terasa sakit, entah karena gugup atau karena stres dengan tekanan dari teman-temannya. Ia mencoba tersenyum lagi sambil berkata pelan, "Seriusan, ini urusan keluarga aja. Nggak bisa diundur, soalnya udah dijadwalin."
Vito dan Rian saling pandang, jelas masih penasaran tapi tidak bisa mendesak lebih jauh. "Ya udah deh, tapi kalau lu batal, kabar-kabarin, ya," kata Vito sambil akhirnya mengalah.
Reza mengangguk cepat, senyumannya sedikit lega, walau perutnya malah makin terasa nyeri. Baru beberapa detik setelah teman-temannya pergi, rasa sakit di perutnya semakin tajam, memaksanya membungkuk sedikit sambil memegangi perut.
"Ah... kok bisa sakit gini?" gumamnya pelan, mencoba menahan rasa sakit yang makin menjadi.
Tanpa pikir panjang, Reza buru-buru berbalik dan berjalan cepat menuju toilet sekolah. Dia berharap rasa sakit ini hanya sementara, karena sekarang tubuhnya sering kali memberi reaksi aneh yang tidak ia pahami. Setibanya di toilet, Reza langsung menuju bilik paling ujung dan duduk di sana, menarik napas panjang berusaha menenangkan perutnya yang terasa mulas.
"Apa gara-gara ini semua?" pikirnya, sambil merasakan rasa nyeri di perut yang perlahan mulai mereda. Tapi di dalam hati, rasa cemas tetap tidak mau hilang. Perubahan tubuhnya yang makin hari makin terlihat membuatnya merasa semakin sulit untuk menjalani hari-harinya seperti biasa, apalagi di depan teman-temannya.
Sudah dua hari ini rasa sakit di perut terus mengganggu. Reza mencoba bertahan di sekolah, berpura-pura semuanya baik-baik saja di depan teman-temannya. Tapi sesekali rasa nyeri itu muncul, terutama saat dia berdiri terlalu lama atau harus berjalan cepat. Tidak ada yang tahu kondisi ini kecuali Cindy, dan setiap kali bertemu dengannya di rumah, Reza mulai mengeluh lebih sering.
Di rumah malam itu, Reza duduk di tepi tempat tidur sambil memegangi perutnya yang masih terasa nyeri. Cindy, yang baru saja masuk ke kamar Reza, langsung mendekat dan duduk di sampingnya dengan wajah cemas.
“Perut kamu masih sakit?” tanya Cindy pelan, menatap adiknya penuh perhatian.
Reza mengangguk, wajahnya terlihat lelah. "Iya, Kak. Padahal aku udah minum obat rutin dari dokter. Tapi, kayak nggak ada efeknya sama sekali. Dua minggu minum obat itu, dan ini masih sakit. Obat hormon pria itu kayak nggak ada pengaruhnya sama sekali di tubuhku…”
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Punya Hormon Cewek
Teen FictionPERINGATAN: Cerita ini mengandung tema dewasa seperti eksplorasi seksualitas dan perubahan gender. Hanya untuk pembaca berusia 21+ . Harap bijak dalam membaca dan menghormati batasan pribadi masing-masing. Cerita ini tidak dimaksudkan untuk konsums...