Chapter 22 : Dijemput

869 24 8
                                    

Subuh hari, saat jam dinding menunjukkan pukul 5 pagi, suasana masih tenang dan sunyi. Tapi, ketukan pelan di pintu kamar Meira membangunkannya.

"Meira, Nona Meira, bangun," terdengar suara Bu Yuni dari balik pintu.

Meira, yang masih setengah sadar, menggerutu sambil meraba-raba ke arah pintu. Dengan mata masih setengah tertutup, dia membuka pintu dan menatap Bu Yuni yang sudah rapi dengan seragamnya.

"Nona, ini udah jam lima. Kamu kan harus sekolah. Ada apa nggak semalam?" tanya Bu Yuni sambil mengintip ke dalam kamar.

Meira tersadar sepenuhnya dan menoleh ke arahku. Aku masih duduk di tepi kasur dengan jilbab yang setengah terlepas dan wajah yang jelas-jelas kebingungan. Pakaian perempuan yang kupakai semalam masih terpakai, dan tentu saja... pakaianku yang sebenarnya masih basah karena tidak sempat dikeringkan.

"Oh iya, Bu. Iya, iya. Saya bangun. Siap-siap dulu ya," kata Meira cepat-cepat sambil menutup pintu dan berbalik menghadapku dengan ekspresi panik.

“Zah, ini udah jam 5 pagi! Kamu harus pulang! Gimana ini?”

Aku menatapnya dengan mata lebar. "Pulang? Dengan pakaian kayak gini? Pakai jilbab sama rok merah muda?!"

Meira berpikir cepat, lalu mendekat. "Tunggu, tunggu. Baju olahraga kamu masih basah, kan?"

Aku mengangguk. "Masih. Kita lupa keringin semalam."

Meira mengusap wajahnya, jelas-jelas panik tapi mencoba tetap tenang. "Oke, nggak usah panik. Ada dua opsi. Satu, kamu pulang sekarang, aku suruh supir aku antar kamu. Ya, kamu tetap pakai baju ini, mau nggak mau."

Aku langsung menatapnya dengan tatapan tak percaya. "Pulang pakai baju cewek? Nggak, Mei! Itu bakal jadi akhir hidupku!"

Meira tertawa kecil, meskipun suasananya jelas-jelas tegang. "Oke, kalau nggak mau opsi itu, ada opsi dua. Kamu telepon Kak Cindy. Dia bisa jemput kamu, dan dia satu-satunya yang tahu soal perubahan ini, kan?"

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba berpikir cepat. Kak Cindy memang tahu soal ini, tapi menelepon dia sekarang berarti harus menghadapi pertanyaan-pertanyaan ribetnya nanti. Dia pasti bakal nanya kenapa aku bisa sampai tidur di rumah Meira dengan pakaian begini.

Meira menatapku sambil menunggu jawaban. "Gimana, Zah? Mau supirku atau Kak Cindy? Atau... kamu mau coba lari pulang sambil pakai jilbab ini? Biar kayak adegan drama Korea?"

Aku mendelik ke arah Meira, dan dia hanya tertawa. “Drama Korea apaan? Ini lebih kayak mimpi buruk!”

Dia tertawa lebih keras. "Ya udah, Zah. Pilih satu. Kamu harus pulang."

Aku menghela napas panjang, akhirnya menyerah pada kenyataan. “Oke... aku telepon Kak Cindy. Itu lebih aman... meskipun bakal ribet nanti.”

Meira menepuk pundakku. "Keputusan bijak! Nggak mungkin kamu jalan keluar rumah pakai rok dan jilbab. Kak Cindy bakal ngerti, tenang aja."

Aku segera mengambil ponsel dan mulai mengetik pesan ke Kak Cindy, memberitahunya kalau aku butuh dijemput di rumah Meira. Sambil menunggu balasan, Meira berdiri dan menggeliat pelan. "Oh, dan jangan lupa kasih tahu Kak Cindy buat bawa baju ganti! Jangan sampai kamu pulang ke rumah pakai outfit ini. Nanti ibu kamu bisa pingsan."

Aku tertawa kecil sambil mengangguk. “Iya, bener juga. Kak Cindy pasti bakal nyuruh aku pakai daster kalau dia tahu soal ini.”

"Jadi kita harus pastikan itu nggak terjadi," jawab Meira dengan senyum jahil, lalu mulai merapikan kamar yang berantakan.

Beberapa menit kemudian, ponselku bergetar. Pesan dari Kak Cindy masuk: "Oke, tunggu di depan rumah Meira. Aku otw, bawa baju ganti. Kamu bener-bener bikin masalah, Zah."

Aku menunjukkan pesan itu ke Meira, dan dia tertawa lagi. "Kakak kamu memang paling paham soal kamu."

Aku mendesah lega, setidaknya satu masalah terselesaikan. “Ya, tapi nanti aku pasti kena ceramah panjang.”

Dua puluh menit kemudian, suara motor terdengar di depan rumah. Kak Cindy akhirnya datang. Aku langsung merasa lega, meskipun tahu konsekuensinya pasti akan panjang.

"Nah, Kakak udah datang. Sekarang tinggal kamu harus berhadapan sama dia," ucap Meira sambil nyengir lebar.

Aku menelan ludah, berharap Kak Cindy nggak mempermalukan aku di depan Meira. Pintu depan terbuka, dan Kak Cindy muncul, masih dengan helm di kepalanya, lalu melihat Meira yang menyambutnya dengan santai.

"Eh, Kak Cindy! Makasih udah jemput Reza. Silakan masuk!" kata Meira sambil tersenyum ramah.

Kak Cindy melepas helmnya dan melangkah masuk ke ruang tamu, matanya langsung tertuju ke arahku. Saat dia melihatku, dia berhenti, matanya melebar, dan... tertawa keras.

"Zah! Ini beneran?" Cindy menutupi mulutnya sambil berusaha menahan tawa, tapi gagal total. "Kamu pakai... JILBAB?!"

Meira ikut tertawa, sementara aku berdiri di sana dengan wajah merah padam. "Kak... udah lah, jangan ketawa gitu," gumamku, merasa semakin malu.

Kak Cindy mendekat sambil memandangi seluruh penampilanku, dari jilbab sampai rok merah muda yang masih aku pakai. Dia benar-benar nggak bisa berhenti ketawa.

"Kamu serius, Zah? Bukan cuma bajunya, kamu juga pakai jilbab?!" Kak Cindy hampir nggak bisa bernapas karena tertawa. “Kalau ibu lihat kamu sekarang, pingsan di tempat!”

Aku mencoba menahan malu. "Kak, udah deh. Aku kan udah bilang, aku terpaksa pakai baju cewek. Nggak ada pilihan lain!"

Kak Cindy akhirnya berhenti tertawa, tapi senyumnya masih lebar. "Oke, oke. Aku bawain jaket buat kamu. Cukup lah buat nutupin."

Dia mengeluarkan jaket besar dari tas yang dibawanya dan menyerahkannya padaku. Aku langsung memakainya, berharap bisa sedikit menutupi penampilan ini. Tapi, tiba-tiba Kak Cindy tampak kebingungan.

"Eh, tunggu... Kamu masih pakai rok?" Cindy menatapku, matanya melebar lagi. "Zah, kamu nggak bilang kalau kamu pakai ROK!"

Aku menghela napas panjang, merasa sangat canggung. "Ya kan aku cuma bilang 'pakaian cewek', nggak detail banget."

Kak Cindy menggeleng, menepuk dahinya sambil tertawa kecil lagi. "Aduh, aku pikir cuma bajunya. Aku nggak kepikiran bawain celana, Zah! Ini kocak banget."

Meira, yang dari tadi diam, tiba-tiba tertawa lagi. "Jadi Kak Cindy cuma bawa jaket tanpa celana? Wah, kakaknya juga salah strategi."

Aku menatap Kak Cindy dengan tatapan pasrah. "Jadi... gimana dong? Aku harus pulang pakai rok?"

Kak Cindy berusaha menahan tawa sambil berkata, "Ya... itu salah kamu juga sih nggak bilang lengkap. Tapi mau gimana lagi? Jaketnya nutupin bagian atas, tapi bagian bawah ya... ya udah, bawa aja roknya. Kan cuma dari rumah Meira ke motor."

Meira hampir jatuh tertawa. "Zah, kamu bakal jadi cowok pertama yang naik motor sambil pakai rok. Itu pasti bakal jadi pemandangan menarik!"

Aku melempar tatapan kesal ke arah Meira. "Kamu nggak bantuin sama sekali, Mei!"

Kak Cindy masih tertawa kecil sambil menarik tanganku ke arah pintu. "Udah lah, cepet. Sebelum Bu Yuni di dapur denger suara kita dan ngintip ke sini."

Aku langsung ikut berjalan ke pintu, tapi Meira nggak bisa menahan diri. "Zah, kalau nanti ada angin kenceng, pegangin roknya, ya. Biar nggak melambai-lambai kayak di video klip!"

Meira dan kak Cindy tos-an seolah olah senang dengan keadaan reza.

Aku melotot ke arahnya. "Mei, sumpah, udah ya!"

Kak Cindy, yang sekarang sudah agak tenang, masih menahan tawa sambil mendorongku keluar rumah. "Cepet-cepet keluar sebelum ada yang lihat. Ini bakal jadi cerita yang aku simpan buat ngusilin kamu nanti."

Cowok Punya Hormon CewekTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang