Hari ini di kelas, tubuhku terasa semakin aneh. Setiap kali bernapas, dadaku terasa sakit, dan perekat yang kupakai untuk menahannya makin terasa menghimpit. Bokongku pun makin padat, bikin duduk jadi nggak nyaman. Aku coba fokus ke papan tulis, tapi pandanganku mulai kabur, dan keringat dingin udah mengalir di pelipisku.Di sebelahku, Meira sudah mulai memperhatikan. Aku tahu dia cemas, tapi aku nggak mau bikin ribut. Lagi pula, kalau dia tahu seberapa parah sakitnya, aku pasti nggak bakal bisa ngelak lagi.
"Zah, kamu kenapa?" bisik Meira, menyikut lenganku pelan, wajahnya penuh tanda tanya.
Aku cuma tersenyum lemah. "Nggak apa-apa, Mei. Serius."
Tapi dadaku makin sesak. Napas semakin pendek, dan tiba-tiba semuanya berputar. Sebelum aku tahu, tubuhku terasa lemas dan jatuh dari kursi. Aku hanya sempat dengar samar-samar suara Meira teriak, "Reza!"
Begitu sadar, aku merasakan kasur empuk di punggung dan bau obat-obatan yang khas. Ruangan ini... UKS. Napas mulai terasa lebih ringan, tapi dada masih nyeri. Kubuka mata pelan-pelan, dan wajah pertama yang kulihat adalah Meira, duduk di sampingku. Dia kelihatan khawatir banget, tangannya menggenggam erat tanganku.
"Zah, akhirnya kamu bangun juga!" Wajahnya lega, tapi matanya masih terlihat cemas. "Tadi kamu pingsan di kelas. Aku beneran panik, tahu!"
Aku mencoba duduk, meski rasanya lemas banget. "Dadaku sakit banget tadi... mungkin perekat ini terlalu kencang," gumamku pelan. Rasanya masih sesak di dada.
Meira menatapku dengan serius. "Reza, kamu nggak bisa terus-terusan kayak gini. Kamu kesakitan terus. Sampai kapan mau sembunyi, sih?"
Aku diam. Rasanya tertampar. Selama ini, aku memang berpura-pura nggak ada yang berubah, tapi kenyataannya tubuhku ini terus berubah ke arah yang nggak bisa kuhindari. Setiap hari makin susah buat kelihatan "normal."
"Aku... aku takut, Mei," suaraku pelan, tapi jelas bergetar. "Kalau orang-orang tahu, mereka bakal lihat aku aneh."
Meira menggenggam tanganku lebih erat. "Zah, kamu butuh bantuan. Kamu nggak bisa terus kayak gini. Kita cari dokter, ya?"
Aku menatapnya, hati terasa campur aduk. Di satu sisi, aku tahu Meira benar-aku nggak bisa lari terus. Tapi, ngebayangin pergi ke dokter, ngebayangin mereka tahu tentang perubahan ini... rasanya berat banget.
"Jadi... kamu pikir aku harus periksa?" tanyaku akhirnya, masih ragu.
Meira mengangguk, senyumnya lembut. "Iya, Zah. Kamu nggak sendirian, aku ada di sini. Kita cari tahu apa yang terjadi, biar kamu nggak kesakitan lagi."
Aku menghela napas panjang, merasa sedikit lebih tenang. "Oke," kataku akhirnya. "Aku bakal coba."
Meira tersenyum, dan di matanya ada kelegaan yang selama ini jarang kulihat. "Nah, gitu dong. Akhirnya."
Aku membalas senyumnya, meski dalam hati masih ada rasa cemas. Tapi kali ini, dengan Meira di sampingku, rasanya sedikit lebih ringan.
Hari itu akhirnya tiba. Aku duduk di ruang tunggu klinik, dan jantungku berdebar nggak karuan. Di sebelahku ada Meira yang sibuk membolak-balik majalah, sementara Kak Cindy asyik ngecek ponselnya. Aku masih nggak percaya kalau aku beneran di sini-mau ketemu dokter buat ngebahas perubahan tubuhku yang aneh ini.
"Zah, tenang aja, ya," kata Meira sambil melirik ke arahku, senyum tipis. "Dokternya pasti ngerti kok, ini kan udah jadi urusan medis."
Aku angguk pelan. "Iya, semoga aja."
Suster akhirnya memanggil namaku. Kami semua langsung berdiri, dan aku merasa kayak mau berhadapan dengan ujian hidup terbesar. Meira menyenggol lenganku pelan, ngasih isyarat supaya aku nggak mundur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cowok Punya Hormon Cewek
Roman pour AdolescentsPERINGATAN: Cerita ini mengandung tema dewasa seperti eksplorasi seksualitas dan perubahan gender. Hanya untuk pembaca berusia 21+ . Harap bijak dalam membaca dan menghormati batasan pribadi masing-masing. Cerita ini tidak dimaksudkan untuk konsums...