Bersama Hujan pt7

302 34 8
                                    

...

Rakha menggeleng ribut di tengah tidurnya, pelipis remaja itu sudah banjir dengan keringat, padahal waktu sudah menunjukkan angka enam,

Tadi sehabis solat Subuh, Rakha memutuskan untuk merebahkan tubuhnya yang sedikit tidak enak, juga sakit kepalanya yang tiba tiba menyerang.

Rakha tau kok jika sehabis sholat subuh tidak di perbolehkan untuk tidur lagi, tapi karena rasa sakit yang menggangu membuat tubuhnya ingin segera di rebahkan.

"Astaghfirullah haladzim" rintihnya, bahkan erangan kecil serta desisan kerap keluar dari belah bibirnya yang pecah pecah.

Sedangkan di kamar sebelah, langit tengah mematut dirinya di depan cermin dan menyugar rambutnya yang basah karena habis keramas.

"Ganteng banget sih gua, heran dah, mami dulu nyidan apa yah?" Ujarnya seraya meneliti wajahnya yang memang tampan.

"Gua mau berangkat bareng bang Rakha lah, biarin juga satu sekolah tau dia Abang gue, gue ngga mau lagi nurutin apa kata papi, dia udah keterlaluan sama bang Rakha" monolognya dan berdecak ketika mengingat perlakuan sang ayah yang menurutnya itu tidak adil.

Ia tau, jika Rakha mungkin lahir dari kesalahan, namun seharusnya yang di salahkan dalam hal ini bukanlah Rakha, tapi kenapa orang dewasa pada menyalahkan anak itu? Bukankah terdengar egois? Kadang langit heran dengan pemikiran mereka. Apalagi ketika mendengar jika ibu Rakha yang lebih memilih mengakhiri hidupnya karena keterbatasan ekonomi dan lebih memilih pergi meninggalkan Rakha. jika langit berada di posisi Rakha, ia tak akan bisa sanggup menjalani hari harinya.

Tapi selama tinggal bersama Rakha, ia sama sekali tak mendapati anak itu pernah murung, atau mungkin dia terlalu pintar menyembunyikan rasa sakitnya? hadirnya rakha di keluarga langit membawa warna tersendiri, bahkan sang kakek yang terlihat angkuh pun bisa dengan mudah mentertawakan Rakha ketika berhasil mengerjainya, contohnya ketika Rakha di suruh manjat pohon, dan ada hal hal yang di luar nalar lainnya juga.

Tangan langit mengayun guna memutar kenop pintu ber cat putih di depannya, langit tak pernah ketuk pintu dulu jika mau ke kamar Rakha.

Cklek!!

"Bang, berangkat bareng yok," langit melongok ke dalam kamar dan seketika matanya melebar ketika melihat Rakha yang meringkuk di atas kasurnya, bahkan sarung yang di pakainya sholat subuh masih terpasang apik.

"Astaghfirullah bang!!" Langit berlari menghampiri Rakha yang tengah mengatur nafas dengan keringat sebiji jagung.

"Lo kenapa bang? Sakit? Mananya bang? Ngomong sama gue!" Ujar langit panik.

Rakha menghembuskan nafasnya lega, pasalnya ia telah menelan obatnya sepuluh menit sebelum langit datang, jadi sakit kepalanya sudah mulai mereda ketika bocah itu masuk.

"Apaan sih cil, ngga papa gua" kilahnya.

"Itu keringat masih bercucuran kaya gitu Lo bilang ngga papa?"

"Emm, tadi salah gua selesai sholat subuh ketiduran, jadi mimpi hantu" ujarnya.

Langit mengerutkan dahi.

"Boong lu, masa mimpi hantu ampe kayak gitu"

"Ya lu ngga tau aja gua kan takut hantu, apalagi tadi hantunya ngejar, kan asu" gumamnya.

"Bbbwwwaahahhahahhaaa... Bocah keren kayak Lo takut hantu?" Langit terbahak sembari memegang perutnya.

"Receh banget lu cil, udah ah gua mau mandi" ujar Rakha lalu pergi ke kamar mandi meninggalkan langit yang masih saja tertawa.

"Eh bang, gua ngikut Lo ya, motoran kitaaa" teriak langit supaya kedengaran Rakha.

"Berisik Lo anak dugong!!" Sahut Rakha dari kamar mandi membuat langit terkikik.

Bersama Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang