Bersama Hujan pt19

173 32 18
                                    

...

Langit begitu gelap, tanpa bintang, membawa hawa suram di malam kali ini, begitupun hati pemuda yang tengah gundah terlihat menyusuri jalanan.

Langit, pemuda itu tengah berjalan di jalanan yang sedikit sepi, ia mengayunkan kakinya menendang kerikil yang menyapa netra. Mulutnya tak berhenti merancau tak jelas, dengan tubuh sempoyongan.

Sebuah lampu motor menyorot membuat mata langit sedikit menyipit, dan tak berselang lama motor tersebut berhenti di dekat langit.

"Ngapain disini tong? Mana motor lu?" Tanya seseorang dengan wajah sedikit garang.

"Eh, hehe, mang Herman, motor langit ada di bawa musuh, langit kalah balapan mang" tutur langit tanpa beban.

Herman mematikan  mesin motornya dan turun untuk menghampiri adik dari hujan.

"Lu kobam Lang?" Tanya Herman ketika mencium bau alkohol dari mulut pemuda di depannya.

Langit menggeleng keras, "nggak, cuma sedikit, tapi jangan kasih tau mami papi ya mang" mata langit sedikit melebar.

"Hujan tau nggak?" Herman membawa langit duduk di trotoar jalan.

Langit menggeleng.

"Tunggu sebentar ya" ucap Herman sebelum mengeluarkan ponselnya dan mendial nomor Rakha.

"Halo hu, adek Lu ada sama gua, kalo mau jemput ke rumah gua aja ya"

"......."

"Kobam dia" Herman sedikit melirik langit yang kesadarannya tinggal setengah.

"....."

"Emang orang tuanya lagi kemana?"

"......"

"Yaudah gua tunggu, pake motor pelan pelan aja, ntar gua ceritain kalo Lo udah nyampe rumah".

"..."

"Hmmm"

Herman mematikan sambungannya, lalu menatap lekat pemuda yang ada di sampingnya.

"Lu jangan bikin masalah yang bakal berdampak sama hujan Lang, selain kakak lu, dia juga anak gue" ujar Herman yang mungkin tak di dengar oleh langit.

Langit merancau tak jelas, yang Herman tangkap, sepertinya langit sedang banyak pikiran.

"Kalo Lo kayak gini, yang bisa gua percaya buat bantuin gua jaga hujan sapa coba?" Celetuk Herman.

"Kita pulang ya Lang, ke rumah gua" tutur Herman, langit Hanya nurut saja, awalnya langit nolak, tapi setelah mendengar nama sang kakak, ia jadi nurut, benar benar anak ayam.

Sedangkan di rumah, Rakha kalang kabut, pikirannya berkelana ke hal yang buruk, langitnya mabuk? Rakha merasa kecolongan.

"Bangsat!!" Umpat Rakha ketika kakinya keserimpet selimut yang jatuh ke lantai karena pergerakannya yang spontan tadi.

Rakha dengan cepat menyambar jaket miliknya dan pergi keluar, untung saja kanjeng Romo sama madam Lusi sedang ada kerjaan di luar kota, dan belum pulang sampai sekarang.

Rakha menilik jam yang sudah menunjukkan angka sebelas ketika sampai di depan rumah Bagas.

Dengan nafas yang memburu ia turun dari motornya kemudian mengetuk pelan pintu mahoni di depannya, Rakha bersender di kusen pintu sambil menetralkan nafasnya.

Cklek!

"Hujan" Bagas yang membuka pintu di sambut senyuman Rakha.

"Bangke lu, lu lupa ingatan apa gimana Cok!!" Sungut Bagas melihat hujan yang sudah sangat lama tak di jumpainya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: 7 hours ago ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bersama Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang