Bersama Hujan pt24

727 63 21
                                    

..

Di sebuah bangku yang terletak di taman pinggir jalan, seorang pemuda dengan jaket denim yang melekat pada tubuhnya tengah menautkan kedua tangannya sejak dua jam yang lalu.

Hembusan nafas kasar terdengar sudah tak terhitung selama ia memutuskan untuk duduk di sana, bahkan waktu kini sudah menunjukkan angka tiga dini hari.

Angin yang berhembus membelai pipinya begitupun hawa dingin yang kini terasa menyengat menusuk kulit tak ia hiraukan.

Banyak ketakutan dalah hatinya tentang hal yang akan kakaknya jalani.

Bagaimana jika setelah semuanya, sang kakak tak juga kembali?

Bagaimana jika setelah ini kakaknya sudah tak sama lagi?

Mungkinkah dia Masih akan mengingatnya?.

Akankah tubuhnya akan bekerja normal seperti sedia kala?

Atau semuanya akan segera berakhir?

Langit merasa ini seperti sebuah karma.

Karma yang langit dapatkan atas perilakunya sebelum bertemu sang kakak.

Jika bukan karma, kenapa semua hal baik seolah pergi darinya?.

Air mata yang semula ia bendung kembali tumpah, bahkan seseorang yang kini menemaninya tak ubah ikut merasakan kesakitan yang langit rasakan.

"Bahkan semesta pun ikut merasakan sedih ketika langit hujan berantakan" ujarnya.

"Mang..." Nafas langit tersendat, rasa takut yang menyelimutinya kini menguar begitu jelas, bahkan tangannya yang bertaut terlihat bergetar hingga mang Udin perlu menggenggamnya erat.

"Jangan rapuh"

"Mang.." langit sesegukan hingga melanjutkan kalimatnya pun terasa sangat sulit. Tenggorokan nya seakan terganjal batu yang sangat besar.

"Kita serahkan semuanya pada Allah, hujan anak yang baik, maka akan ada karma baik juga untuknya" ujar mang Udin.

"Tapi.."

"Daripada merenungi ketakutan lu yang tidak berdasar disini, bukankah kita seharusnya menunggu hujan selesai operasi?"

"Langit takut" sahut langit dengan suara tercekat.

Udin tersenyum maklum.

"Kalau begitu kita pergi ke mushola saja, kita doakan Hujan supaya bisa melewati semuanya, bagaimana?" Tawar Udin, dan kali ini langit menyetujuinya.

Langit mengangguk kecil sebagai jawaban atas pertanyaan Udin.

"Ayok, kita pergi" ajak mang Udin sambil menarik lengan langit menuju mushola terdekat.

Sedangkan di rumah sakit, damar dan Lusi tengah menunggu di depan ruang operasi, bahkan kini Farhan ikut terlihat di sana bersama sang putra Kelvin.

Mpok Ida dan mang herman menatap sang putra yang terbaring di kursi tunggu dengan bekas kekehan Air mata tercetak di pipinya.

Setelah menangis keras, Bagas terlelap begitu saja saat kedua orangtuanya sampai di rumah sakit.

"Gas, mimpi yang indah, dan bertemulah dengan hujan, katakan padanya, jangan pergi dulu menemui emaknya, lu bisa menahannya kan?" Ujar Ida yang kini tengah mengusap pucuk kepala Bagas di pangkuannya.

.
.

Langit mengangkat kedua tangannya, bibirnya bergetar sebelum sebuah doa suci meluncur dari bibir tebalnya.

"Ya Allah, hamba tau, hamba hanyalah pendosa yang selalu melalaikan perintahmu, tapi bisakah pendosa seperti hamba dapat meminta? Dalam kubangan lumpur dan diri yang kotor hamba memohon, tolong kembalikan kakak, jangan dulu kau ambil dirinya dariku, aku tak sekuat itu jika menghadapi  dunia tanpanya"

Bersama Hujan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang