Ucok keluar dari kamar mandi dengan tubuh yang masih basah, handuk kecil melingkar di lehernya sementara ia menyeka rambutnya yang hitam pekat. Kulitnya yang kecoklatan tampak berkilau terkena sisa air, dan hawa segar dari sabun mandi masih melekat di tubuhnya yang kekar akibat bekerja keras di bengkel. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan segarnya pagi yang baru saja ia sambut. Meski sederhana, mandi pagi selalu menjadi momen yang paling sakral baginya, tiada hari tanpa mandi sambil bernyanyi. Ya, begitulah Ucok, walaupun kini ia berakhir hanya membuka sebuah bengkel kecil, cita citanya sejak kecil adalah menjadi seorang penyanyi.
Tak lama setelah itu Ucok bergegas keluar dari kosan dengan jaket kulit lusuhnya yang setia menemaninya sejak pertama kali merantau ke kota(Yaa.. Sebetulnya gak kebeli jaket kulit yang baru sih). Sebelum menghampiri motornya, ia melihat Dion, salah satu penghuni kosan lainnya yang berasal dari ambon, nampak sedang sibuk memeriksa motornya yang terparkir di samping motor milik Ucok.
"Eh, kenapa keretamu yon?" tanya Ucok seraya mendekat.
"Aduh Tuhan danke banya..Kaka ucok tolong bantu beta do ini motor bodok akang zeng mau manyalah e" balas Dion tak sadar berbicara dengan logat ambonnya yang kental karena kesal dengan motornya. "Aduh terima kasih banyak Tuhan, Kakak Ucok tolong bantu aku dong, ini motor bodoh tidak mau menyala"
Ucok berdiri di samping motor Dion, matanya menatap mesin dengan fokus. "Jadi, apa yang sebenarnya terjadi? Keretamu ini nggak mau nyala dari kapan?" tanya Ucok dengan nada serius, suaranya berat seperti biasanya.
"Tadi pagi, kak. Aku udah coba starter beberapa kali, tapi nggak ada respons"
Ucok mengangguk pelan sambil menunduk, tangannya meraba-raba bagian mesin. "Ini bisa jadi masalah busi atau bahan bakar nggak sampai ke mesin. Pernah ganti busi belakangan ini?" tanyanya.
"Belum, terakhir ganti kapan ya... dua bulan lalu kayaknya," jawab Dion sambil berpikir keras.
"Ya sudah, kau sibuk tak hari ini? Ikut awak pigi ke bengkel, biar awak stut keretamu sampai sana"
"Kebetulan sekali hari ini aku sedang libur, kak" jawab Dion lega.
"Oke, ayo kita berangkat" sahut Ucok.
"Eh tunggu, kak. aku ambil dompet sebentar di kamar" balas Dion lalu bergegas masuk kedalam.
Ucok yang penasaran, mencoba sendiri menyalakan motor Dion, sekedar memastikan. Ia meraih kunci yang masih tergantung di motor, memutar perlahan, dan menekan tombol starter. Matanya tertuju pada lampu indikator yang menyala, namun mesin menunjukan tidak ada respon sama sekali. "Hmm..." Ucok mengerutkan alisnya, menatap motor itu dengan pandangan penuh teka-teki. "Ah, apa mungkin ada yang kelewat?" gumamnya sambil melirik standar motor yang masih berdiri tegak.
"Hah, pantas saja!" teriaknya dengan nada kecewa. "Kau ini, Dion, kacau kali lah, keretamu ini butuh standarnya dinaikkan! Gila kali!"
Ucok menggelengkan kepala, merasa seolah sudah berbicara dengan tembok. "Orang kalau mau nyala, standarnya harus dinaikan. Ndak tahu dari mana otakmu ini!" gerutunya lebih keras, meski ia tahu Dion tidak ada di dekatnya untuk mendengar keluhannya. Meskipun kesal, ada sedikit rasa lucu dalam situasi itu; terkadang hal-hal kecil yang tampak sepele memang bisa membuat segalanya menjadi rumit.
Tak lama Dion keluar menghampiri Ucok dan melihat motornya sudah menyala tanpa perlu dibawa ke bengkel.
"Wah untung ada Kak Ucok! jago lai ternyata. Sepertinya besok beli batagor buat Kak Ucok do" seru Dion nampak lega sambil menghampiri Ucok, dan belum menyadari kesalahannya sendiri. "Berapa, Kak? motorku udah sehat lagi, memang jagoanku ini Kak Ucok!" Dion menempuk pundak Ucok penuh kepuasan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan Chronicles
Humor"Kosan Chronicles" adalah potret kehidupan para penghuni kosan di era modern. Novel ini mengikuti kisah sehari-hari sekelompok anak muda dengan latar belakang yang beragam, yang tinggal bersama di sebuah kosan minimalis di tengah kota. Namun, hidup...