Pagi itu cuaca sejuk menyelimuti kota, tidak ada terik matahari karena langit pagi ini gelap tertutup awan mendung. Andin bersenandung lembut di depan cermin sambil merapikan kerah dan memastikan tidak ada lipatan yang mengganggu pada kemeja hijau muda yang ia kenakan hari ini. Setelah merasa puas, ia berjalan pelan menuju dapur, hendak menyiapkan bekal sarapan.
Euis, Ibunya Andin, yang baru saja dari luar menyapu halaman, terkejut melihat pemandangan tersebut. "Eh, tumben banget kamu bawa bekal, Din. Biasanya kan, makan siang udah disediain di kantor?" tanya Euis sambil mendekati Andin.
Andin tersenyum kecil, berusaha terlihat santai. "Iya, Mah. Sekali-kali aja bawa bekal sendiri. Biar gak bosen sama menu kantor yang gitu gitu aja," jawabnya sambil memasukkan potongan apel sebagai penutup.
Euis masih terlihat heran, tapi hanya mengangguk. "Ya bagus sih, kalau bawa bekal sendiri. Tapi pasti ada alasan, kan?" godanya, seolah mencoba menggali lebih jauh.
Andin hanya tertawa kecil dan menggeleng. "Gak ada alasan spesial kok, Mah. Aku cuma pengen coba bawa bekal aja hari ini."
"Yaudah sayang, jangan lupa sarapan juga ya. Udah mamah siapin di meja makan," ujar Euis sambil tersenyum dan beranjak pergi.
Andin mengangguk, lalu menaruh bekal yang sudah siap di dalam tasnya. "Iya, Mah. Aku pasti sarapan dulu kok, tenang aja," jawabnya.
Saat Andin sedang berjalan menuju meja makan, terdengar suara notifikasi pesan pada ponselnya. Aji mengirim pesan.
"Pagi, Din. Udah siap belum? Aku udah otw ke rumahmu."
Andin tersenyum membaca pesan itu. Seperti biasa, Aji selalu memastikan semuanya berjalan lancar, bahkan untuk hal kecil seperti memastikan Andin siap berangkat kerja. Dia segera membalas,
"Pagi juga, Ji. Lagi siap-siap, tinggal sarapan bentar. Kamu hati-hati di jalan ya."
Ia kembali memasukan ponselnya kedalam tas, dan segera menuju meja makan untuk menikmati sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh ibunya. Setelah menghabiskan sarapannya, Andin membereskan piringnya dan mengambil tasnya. Ia berjalan ke ruang tamu, di mana ibunya sedang menemani ayahnya, Jamil, yang masih duduk menikmati teh pagi.
"Pah, Mah, Andin berangkat, ya," ucapnya sambil tersenyum.
Euis mengangguk dan membalas, "Iya, hati-hati di jalan, Din. Jangan lupa makan bekalnya nanti."
Jamil juga tersenyum lalu mengangkat cangkir tehnya. "Semangat sayang!! Hati hati ya, Nak."
Andin mengangguk dan bergegas keluar rumah. Di depan gerbang, udara pagi terasa segar dan jalanan belum terlalu ramai. Ia berdiri menunggu Aji, sembari sesekali melihat ponselnya. Tak lama kemudian, suara motor mendekat dan Aji muncul, mengenakan jaket dan helm. Dia tersenyum lebar saat melihat Andin, seolah-olah kehadirannya di sana sudah membuat paginya lebih baik.
"Pagi Din, mendung banget hari ini," sapa Aji sambil menatap ke arah awan.
Andin membalas senyum itu, lalu mengangguk. "Pagi, Ji. Iya nih. Yuk berangkat, semoga gak keburu ujan."
Aji menyerahkan helm cadangan pada Andin, dan setelah dia memakainya, mereka berdua pun siap melaju. Motor mereka melaju perlahan di jalanan yang mulai dipadati kendaraan, membawa Andin menuju kantornya. Selama perjalanan, Andin merasa nyaman dengan keheningan pagi itu, hanya ada suara mesin motor dan angin yang meniup lembut.
Sesekali Aji melirik ke kaca spion, memastikan Andin baik-baik saja di belakangnya. Momen sederhana itu membawa ketenangan, seolah-olah dunia di sekitar mereka menjadi lebih ringan untuk sejenak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kosan Chronicles
Humor"Kosan Chronicles" adalah potret kehidupan para penghuni kosan di era modern. Novel ini mengikuti kisah sehari-hari sekelompok anak muda dengan latar belakang yang beragam, yang tinggal bersama di sebuah kosan minimalis di tengah kota. Namun, hidup...